Sabtu, 05 September 2009

Karena Cinta

Pertama kali melihat Kendra, Sam langsung jatuh cinta pada gadis yang masih berumur tujuh belas tahun itu. Hatinya telah terpaut oleh kecantikan Kendra. Sejak itu, ia mendekati Kendra dan menunjukkan kesungguhan cintanya. Tiga tahun kemudian Kendra berhasil disuntingnya.

Mereka berdua hidup berbahagia, dengan gejolak cinta yang membara. Meski terkadang perkawinan itu juga diselingi masalah-masalah kecil seperti, makanan yang terlalu asin, popok yang menumpuk tinggi atau malam-malam yang panjang ketika Sam mesti lembur di kantor. Selebihnya, hari-hari yang ada mereka lalui dengan tenang dan penuh kasih.

Banyak peristiwa yang mereka lalui bersama, yang membuat ikatan hati mereka semakin menguat. Kelahiran anak pertama, hari pertama masuk sekolah Dea, anak kedua mereka, dan wisuda Tony, anak ketiga mereka. Bahkan melihat pernikahan ketiga anak mereka.

Ya, puluhan tahun berlalu dengan cepat. Sam dan Kendra masih memiliki rasa cinta yang sama, yang tidak lekang oleh waktu, bahkan cinta itu telah berubah bentuk menjadi lebih matang seiring dengan umur mereka yang semakin bertambah.

Suatu hari Kendra divonis mengidap leukemia. Sam patah hati. Ia tak mampu mempercayai hal tersebut. Namun karena semangat Kendra untuk tetap hidup dan tetap mau menjalani hari-harinya yang berat dengan senyuman, Sam akhirnya belajar untuk pasrah. Ia berusaha untuk selalu tegar, memberi kekuatan pada istrinya yang tercinta.

Sam ingat, ia selalu berkata pada Kendra bahwa ia akan menemaninya hingga akhir hayat. Menjalani masa tua sebagai kakek dan nenek, tetap dengan cinta yang sama. Dan kini mereka telah tua, anak-anak telah besar dan berkeluarga. Ia ingat akan janjinya. Meskipun tak pernah sekalipun terlintas dalam benaknya bahwa masa tua ini akan dijalaninya dengan Kendra dalam keadaan tidak bahagia seperti ini.

Kendra akhirnya diopname di rumah sakit. Tubuhnya mengurus. Rambutnya mulai rontok, memperlihatkan bagian kulit kepalanya. Wajah cantiknya kini terlihat lesu. Bahkan gerakannya mulai melemah. Hanya satu yang tak pernah berubah dari Kendra, sinar di matanya. Ya, mata indah itu selalu bersinar ketika ia menatap Sam. Seakan-akan ingin mengatakan pada Sam bahwa ia tak akan pernah menyerah.

Tiap hari Sam menemani Kendra. Saat istrinya terbangun, ia akan tersenyum padanya, menggenggam tangannya dan berkata, "Jangan menyerah, Sayang." Dan Kendra akan tersenyum lemah padanya. Tapi mata itu tetap bersinar, seakan mengucapkan janji tanpa kata. Dan Sam akan merasa tenang kembali. Karena tiap kali melihat Kendra tertidur, Sam tak mampu mengusir ketakutannya bila Kendra tiba-tiba pergi meninggalkannya. Ia tak mau ditinggalkan teman hidupnya itu. Baginya hidup ini tak berarti lagi bila kekasihnya tiada.

Hari-hari berlalu dengan lambat. Namun keadaan Kendra tidak juga membaik, malah semakin memburuk. Kendra jarang membuka matanya. Ia bahkan tak pernah lagi turun dari ranjangnya. Dokter mengatakan waktu Kendra tinggal sebentar, mungkin hanya dalam hitungan hari saja. Sam marah. Ia menyuruh Dokter tersebut pergi. Hatinya terasa sakit, tak mau menyerah. Dokter muda itu hanya menunduk tak mampu menghibur lelaki tua itu. Dia tahu betapa besar cinta Sam pada istrinya. Cinta yang dilihatnya setiap hari saat ia menyaksikan Sam duduk seharian menunggui istrinya.

Seminggu berlalu. Dua minggu berlalu. Tidak ada yang terjadi. Apa yang dikatakan dokter mengenai kematian Kendra tidak menjadi kenyataan. Sam merasa sedikit terhibur. Mencoba membangun kembali harapannya yang hampir runtuh. Namun, keadaan Kendra tampak semakin memburuk. Kadang seharian Kendra tak sadarkan diri. Bahkan tak tersisa sehelai rambut pun di kepala Kendra kini. Sam sangat sedih menyaksikan kondisi istrinya. Hatinya terasa sakit, tak mampu berbagi rasa yang dirasakan Kendra. Ia berharap seandainya saja ia bisa menggantikan posisi istrinya asalkan istrinya tersebut bisa kembali sehat dan tersenyum bahagia. Namun, semua itu tak mungkin terjadi. Ia hanya bisa duduk diam, tak melakukan apa-apa, terus berbisik ke telinga istrinya, "Jangan menyerah, Sayang..."

Pagi itu Sam datang ke rumah sakit seperti biasanya. Dan menemukan Kendra masih tertidur di ranjangnya. Ia mencium kening istrinya dan duduk di sampingnya. Ia mulai berbicara kepada istrinya seperti biasa. Berbicara tentang apa saja. Ia yakin Kendra mendengarnya. Dan ia berharap dengan mendengar suaranya, Kendra mampu terhibur dalam sakitnya. Dan Kendra bisa tahu bahwa ia tak akan pernah meninggalkannya sendiri.

Tiba-tiba Kendra mengerang. Lirih, namun panjang. Sam panik, memegang tangan istrinya dan bertanya, "Apa yang sakit, Sayang?" Tak ada jawaban dari mulut Kendra. Namun erangannya kembali terdengar. Matanya masih tertutup. Wajahnya memperlihatkan penderitaan yang sangat. Mata Sam terasa panas. Dielus-elusnya jemari Kendra. "Sakit, ya?" tanyanya sedih. Suara erangan Kendra seperti pisau mengiris-iris hatinya. Perih terasa. Ia benar-benar merasa tak berguna. Tak bisa berbuat apa-apa menyaksikan penderitaan orang yang begitu dicintainya.

Airmatanya jatuh. Sam terisak bagai anak kecil. "Maafkan aku, Sayang. Maafkan aku..." katanya di sela tangisnya. Dipeluknya kepala Kendra dalam dadanya. Mencoba memberi kekuatan pada istrinya. Namun erangan itu tak juga berhenti. Sam ingin sekali berkata sekali lagi seperti yang selalu dilakukannya, "Jangan menyerah, Sayang." Namun hari itu, kata-kata itu tak mampu keluar dari bibirnya. Ia merasa sangat egois. Selama ini ia terus meminta istrinya untuk jangan menyerah, memaksa wanita itu berjanji padanya agar tidak meninggalkannya sendirian. Dan karena itu Kendra terus bertahan dan harus terus merasakan penderitaan yang berat, yang seakan tanpa akhir.

Sam melepaskan pelukannya, menatap wajah istrinya dalam genangan airmata. Wajah itu puluhan tahun yang lalu telah memikat hatinya. Wajah yang telah puluhan tahun mengisi hari-hari dalam hidupnya yang bahagia. Kini wajah itu telah menua dan melemah. Hanya garis penderitaan dan sakit yang tampak di sana. Sam mengelus lembut wajah yang penuh kerutan itu. Betapa ia mencintai wanita itu. Wanita yang telah memberinya begitu banyak warna dalam hidup. Harusnya kini Kendra telah kelelahan mempertahankan napas hidupnya dalam tubuh sakitnya yang tak mau bekerjasama lagi.

Sam mendekatkan bibirnya ke telinga Kendra. "Pergilah, Sayang. Jangan khawatirkan aku. Aku baik-baik saja," bisiknya dengan suara bergetar. "Pergilah. Sudah waktunya untukmu pergi. Aku akan menyusulmu kelak. Aku tak mau melihatmu menanggung penderitaan ini lagi. Kau tak boleh menderita seperti ini."

Dan saat kalimat Sam terhenti, ia melihat Kendra menarik napas untuk terakhir kalinya. Tarikan napas yang panjang dan berat. Istrinya telah pergi untuk selama-lamanya, meninggalkannya. Airmata Sam masih menetes, namun ia tersenyum lembut membelai wajah sang istri dengan sayang. Ya, Kendra mendengarnya. Kendra selama ini menunggunya. Menunggunya memberi ijin padanya untuk pergi. Menunggunya merestui kepergiannya itu. Betapa baiknya wanita itu, menahan sakitnya untuk dirinya. Meski sedih namun Sam tidak menyesali ucapannya. Ia telah membebaskan Kendra dari sakit dan deritanya. Ia telah merelakan Kendra pergi. Ia merestuinya. Restunya ia berikan karena cinta...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya