Selasa, 01 September 2009

Yang Terbaik

Steven adalah seorang anak tunggal dari sebuah keluarga kaya. Papa dan mamanya adalah pengusaha. Dari kecil segala yang diinginkan Steven selalu didapatkannya. Orangtuanya sangat menyayangi anak semata wayang mereka. Karena itu, dalam diri Steven ada sebuah kecenderungan untuk harus selalu mendapatkan apa yang dia inginkan apalagi didukung oleh kecerdasan otaknya. Di sekolah, Steven selalu meraih ranking pertama. Baginya posisi teratas atau nomor satu, sangat penting. Ia tak pernah suka bila ada yang melebihi dirinya dalam hal apapun juga.

Dari kecil Steven telah menyukai olahraga renang. Dan karena kemampuannya berenang, orangtuanya mendaftarkannya dalam sebuah klub renang ternama. Klub itu sering melahirkan perenang-perenang berkualitas yang sering mengikuti perlombaan setempat, nasional maupun internasional.

Untuk golongan seusianya, Steven termasuk yang berada di peringkat teratas. Ia selalu bersungguh-sungguh dalam berlatih. Namun seperti halnya di sekolah, di klub itu pun Steven tidak memiliki banyak teman. Namun ia tidak terlalu peduli akan hal tersebut. Baginya persahabatan tidak lah lebih penting daripada kemenangan.

Sore itu sehabis selesai berlatih, Steven berniat untuk pulang. Saat ia keluar meninggalkan kolam, matanya tertumbuk pada dua orang anak laki-laki tak jauh dari tempatnya berada. Ia mengenal salah satu dari mereka. Ricky, seniornya yang selalu menjadi yang tercepat dalam golongan umurnya. Steven suka memperhatikan Ricky karena ia telah menetapkan tekad, suatu hari ia pasti akan mengalahkan rekor kecepatan Ricky.

Tak sengaja, Steven menangkap percakapan mereka berdua. Ricky tengah membujuk temannya itu untuk berlatih lagi. Tampaknya temannya tersebut baru mengalami kekalahan dalam lomba antar anggota tadi siang, yang memang tiap seminggu sekali diadakan. Steven mendengar Ricky memberikan begitu banyak kata-kata positif yang berusaha menyemangati temannya itu. Dan akhirnya anak laki-laki yang semula tampak murung itu tersenyum. Ricky menepuk bahu temannya, seakan ingin mengatakan bahwa ia bangga padanya.

Rasa heran menghampiri Steven. Dia tak mengerti mengapa Ricky berbuat seperti itu. Dia menunggu kedua anak laki-laki itu bangkit, berjalan menuju ke arah kolam. Dan ketika Ricky berjalan di sampingnya, hampir melewatinya, Steven menyapanya. Ricky menoleh dan tersenyum padanya. Langkahnya terhenti.

"Hai," sapanya dengan ramah. Lagi-lagi membuat Steven terheran-heran. Ia mengira Ricky tidak mengenalinya.

"Maaf, nama kamu siapa?" tanya Ricky seraya mengulurkan tangannya.

Ternyata memang Ricky tidak mengenalinya. Steven menjabat tangan Ricky. "Steven, aku perenang kelompok umur sebelas tahun."

Ricky mengangguk-angguk. "Steven, ya? Kayaknya aku pernah mendengar namamu."

Tentu saja pernah! batin Steven dalam hati, dipenuhi rasa bangga.

"Tadi aku melihatmu berbicara dengan temanmu itu," kata Steven melirik ke arah kolam renang. Anak laki-laki yang tadi berbicara dengan Ricky kini telah berada dalam kolam, tampaknya menunggu Ricky.

Ricky menoleh, "Oh, Pram. Kenapa?"

"Untuk apa kamu membujuknya berlatih?"

"Oh, tadi siang Pram kalah dalam lomba. Dia putus semangat, makanya aku mencoba memberinya semangat lagi."

"Untuk apa kamu lakukan itu?"

Ricky menatap Steven dengan bingung. Tampaknya ia tidak mengerti dengan pertanyaan Steven.

"Ya, untuk apa?" ulang Steven. "Dia kalah, itu urusan dia sendiri. Dia tidak berusaha dengan baik. Dia pantas untuk kalah. Untuk apa kamu capek-capek menghibur dan menyemangatinya lagi? Dia itu kan juga termasuk salah satu sainganmu juga. Kalau berkurang satu, malah bagus untukmu."

Ricky tertegun sejenak mendengar kata-kata Steven. Namun kemudian senyumnya terkembang perlahan.

"Pram itu sahabatku. Saat dia bersedih, aku ikut bersedih. Saat dia putus asa, aku harus menyemangatinya kembali. Itulah arti seorang sahabat."

"Tetap saja, menurutku itu tidak perlu kamu lakukan. Menang kalah tergantung kehebatan kita sendiri. Kalau dia akhirnya kalah ya itu salah dia sendiri. Itu adalah bukti bahwa kita lebih hebat dari mereka."

Ricky menggeleng. "Steven, menang itu memang penting, membuat kita puas akan kemampuan kita sendiri. Tapi kemenangan kita sebenarnya bukan hanya tergantung pada kehebatan kita sendiri. Banyak orang yang ikut membantu di dalamnya. Kita tidak mungkin menjadi hebat dengan sendirinya. Selalu ada bantuan pelatih yang mengajar kita, orangtua yang memberi dukungan, begitupun dengan teman-teman. Makanya kita harus saling membantu untuk meraih keberhasilan bersama."

Steven merasa seperti terkena tamparan keras.

"Lagipula, kemenangan bukan segala-galanya bagiku. Aku memang ingin menjadi yang terbaik, sebaik yang aku bisa. Tapi aku juga ingin melihat teman-temanku seperti itu."

"Mana mungkin? Hanya ada satu yang terbaik. Dan untuk itu harus kamu kalahkan semua orang," kata Steven bersikeras, tak mau kalah.

"Hari ini aku menang, besok mungkin Pram. Semua orang punya kesempatan yang sama. Lebih menyenangkan bila kita saling membantu dan berbagi mencapai kemenangan bersama. Lagipula semua orang punya kehebatan masing-masing. Kita bisa saling berbagi apa yang kita tahu dan punya. Dengan begitu, kita akan semakin hebat. Dan akhirnya kemenangan pribadi bukan lagi yang terpenting. Tapi kita bisa menjadi salah satu dari yang terhebat."

Ricky kembali tersenyum padanya. Menepuk bahunya dan berkata, "Tetap semangat, ya! Aku temani Pram dulu berlatih."

Lama Steven duduk memperhatikan Ricky dan Pram berlatih. Wajah-wajah ceria mereka tertangkap oleh matanya. Ricky tampak begitu bersemangat menemani Pram. Seakan-akan seorang Pram begitu penting artinya bagi dirinya. Steven tiba-tiba merasa iri akan persahabatan mereka. Ya, dia tidak memiliki sahabat seperti Pram. Dia juga tidak memiliki sahabat seperti Steven. Selama ini dia merasa tidak membutuhkan dukungan siapa-siapa. Dirinya sudah cukup hebat untuk bisa meraih semuanya sendiri. Dan mungkin karena itu, tidak ada seorang pun yang berani mendekatinya.

Dulu, Steven selalu terobsesi ingin menjadi yang terbaik, The Best! Tapi kata-kata Ricky tadi mengusik obsesinya kini. Menjadi salah satu yang terbaik? Kedengarannya aneh di telinganya. Tapi tampaknya hal itu lebih menyenangkan daripada sendiri dalam dunia kemenangannya. Lagipula Ricky benar, dia tidak mungkin menjadi hebat seperti sekarang ini bila tidak ada orang lain yang membantunya. Orangtuanya, pelatih dan senior-senior serta orang-orang yang pernah dikalahkannya. Mereka semua yang membuatnya semakin kuat dan berlatih semakin giat. Steven dulu tidak menyadari hal itu, membuatnya tidak mempedulikan orang lain. Ia bahkan tidak pernah membagi kehebatannya pada orang lain. Kehebatannya hanyalah kehebatan kecil miliknya sendiri.

Tiba-tiba Steven merasa begitu kecil dan tidak berarti. Tiba-tiba di matanya Ricky menjadi sosok yang begitu hebat. Seorang juara yang siap mengulurkan tangannya bagi siapa saja di sekelilingnya untuk belajar menjadi sehebat dia. Ricky bahkan tak takut tersaingi, seakan-akan kehebatannya tak bakal bisa dicuri oleh orang lain. Kehebatannya tak akan habis bila dibagi dengan orang lain. Bahkan bisa semakin bertambah dan bertambah. Menjadikannya seseorang yang semakin hebat.

Steven merasa malu akan kata-katanya tadi. Malu akan sikapnya selama ini pada semua orang. Dia yang begitu kecil tapi selalu merasa paling hebat. Juga akan obsesinya menjadi yang terbaik. Steven bertekad, mulai detik itu harus mengubah dirinya dan sikapnya. Ia tidak mau hanya menjadi yang terbaik. Tapi ia mau menjadi bagian dari yang terbaik. Salah satu dari yang terbaik. Dan dia juga ingin membagi kemenangan dan keberhasilannya pada banyak orang, seperti yang dilakukan oleh Ricky.

Steven bangkit dari duduknya, menghampiri Ricky dan Pram yang masih berlatih.

"Boleh aku ikut bergabung?"


Terinspirasi dari seorang teman yang hebat, G. Lini Hanafiah, seseorang yang selalu mau berbagi kepada siapa saja, dengan mottonya: When someone does you a big favor, don't pay it back... Pay It Forward !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya