Kamis, 03 September 2009

Tak Sempat Terucapkan...

Sejak berumur lima tahun Ahmad telah ditinggal mati oleh ibunya. Tinggal sang Bapak lah yang menemaninya. Ahmad tak memiliki saudara. Bapaknya pun sepertinya demikian. Karena semasa tinggal bersama bapaknya di kampung, setiap hari mereka menghabiskan waktu bersama.

Bapak Ahmad adalah seorang buruh tani. Saat Ahmad masih kecil, bapaknya selalu mengajaknya ke sawah. Di sana, di sebuah gubuk bambu di tengah sawah garapan bapaknya, Ahmad selalu bermain sendiri. Kadang-kadang ia diperbolehkan bapaknya turun ke sawah, meski sebenarnya ia hanya asyik bermain tanah, tak dapat membantu apapun.

Kampung Ahmad adalah sebuah tempat terpencil, jauh dari keramaian. Belum ada listrik di sana. Mereka sehari-hari masih menggunakan lampu minyak sebagai penerangan. Orang-orang di kampung tersebut hidup sangat sederhana. Sehari-hari mereka bekerja di sawah, mencari segenggam beras untuk makan.

Meski mereka tergolong miskin, namun Ahmad tak pernah merasakan kesusahan. Bapaknya selalu menyediakan makanan yang cukup untuknya. Meski pakaiannya lusuh, tapi Ahmad tak menyadari hal tersebut, karena rata-rata penduduk kampung tersebut pun demikian adanya.

Bapak adalah seorang teman terbaik bagi Ahmad. Lelaki itu tak pernah memarahinya. Ia bahkan selalu membuatkan Ahmad mainan, entah dari kulit jeruk atau potongan kayu dan bambu. Dan lelaki tersebut sangat menyayangi anaknya. Selalu memberi Ahmad dukungan yang besar. Ia membesarkan Ahmad dengan cara-cara yang sangat positif.

Saat Ahmad belajar mengayuh sepeda tua bapaknya dan terjatuh, bapaknya selalu menyemangatinya dan berkata, "Ayo, Nak. Bangun lagi. Kau pasti bisa..." Saat Ahmad berumur tujuh tahun dan ikut bersekolah pada Ibu Wita, wanita yang mengajar anak-anak membaca dan menulis di rumahnya tanpa bayaran, bapaknya setiap hari menepuk pundaknya dan berkata, "Bagus, Nak. Kau anak yang pintar dan rajin. Kelak pasti jadi orang berguna."

Saat Ahmad berusia lima belas tahun, Ahmad mulai bosan dengan kehidupan di kampungnya. Ia mulai bosan mengayun cangkul dan membajak sawah. Ia sering mendengar cerita dari teman-temannya tentang kehidupan ibukota yang bagus dan maju. Ia lalu menyatakan hasratnya untuk pergi ke ibukota mengadu nasib. Ia ingin mengubah kemiskinannya. Bapaknya diam sejenak sebelum kemudian mengangguk, merestui keinginan Ahmad.

"Pergilah, Nak. Kau pantas mendapatkan kehidupan yang lebih baik."

Berbekal ilmu yang tidak banyak dan beberapa lembar uang pemberian bapaknya yang diambil bapaknya dari simpanan seumur hidupnya, Ahmad pun berangkat. Namun ibukota tak seindah cerita. Suasana sibuk dan hidup yang keras menyambutnya di sana. Tidak ada yang peduli pada dirinya. Untuk mencari sesuap nasi dan tempat berlindung di malam hari, bukan sesuatu yang mudah baginya. Ia sering tidur di emperan toko, di bangku-bangku taman atau pasar dan mengemis-ngemis pekerjaan. Pekerjaan apa saja dilakukannya. Yang terpikirkan olehnya hanyalah bagaimana mengisi perutnya dan melewati satu hari lagi. Ia tidak memiliki ijazah apapun, membuat orang-orang memandang hina dan menolaknya.

Waktu berlalu dengan cepat. Ahmad mulai memiliki beberapa teman dan memiliki pekerjaan yang lebih bagus. Namun ia masih sering berganti pekerjaan karena tidak puas dengan apa yang didapatkannya. Sampai suatu hari seorang teman mengajaknya berjualan. Ternyata ia menyukainya. Ia sangat pandai berjualan. Mungkin karena tutur katanya yang manis dan sikapnya yang sopan membuat orang-orang mau membeli dagangannya.

Suatu hari, seorang teman yang mengetahui bakat berjualan Ahmad mengajaknya bergabung pada sebuah perusahaan besar sebagai salesman kontrak. Meski tanpa berbekal ijazah, Ahmad akhirnya diterima karena rekomendasi dari teman tersebut. Ia diberi tiga bulan masa percobaan. Tiga bulan itu dilewatinya dengan baik. Hasil jualannya melebihi salesman-salesman yang lain. Ia pun kemudian mendapat kontrak setahun dari perusahaan tersebut. Setahun berlalu dengan cepat, Ahmad mencetak rekor sebagai top salesman di sana. Sang pimpinan tertarik padanya dan menawarkan kedudukan sebagai manajer tim marketing. Ahmad semakin terpacu karena kehidupannya berangsur-angsur membaik. Sampai kemudian ia akhirnya menduduki posisi sebagai Sales Head dari seluruh tim marketing di kota tersebut.

Sejak meninggalkan kampungnya, Ahmad belum pernah sekalipun menengok sang Bapak. Awalnya karena tidak memiliki uang dan tidak ingin bapaknya tahu situasi kehidupannya yang sulit, Ahmad memutuskan untuk tidak pulang. Ia malu. Ia berkata pada dirinya sendiri, "Nanti. Suatu hari nanti kalau aku sudah punya uang banyak, aku akan pulang." Tapi seiring waktu berlalu, ketika kehidupannya mulai membaik dan uang mulai terkumpul, Ahmad tetap tidak pulang. Bukan karena lupa, tapi karena ia merasa tidak memiliki waktu. Yang dipikirkannya hanyalah bekerja dan bekerja. Ia tak ingin mengalami masa susah seperti dulu lagi. Ia benci akan kemiskinannya dulu. Dan itu telah menjadi momok menakutkan baginya, yang memacunya untuk bekerja lebih giat lagi.

Kini, Ahmad bahkan telah berkeluarga dan memiliki seorang anak. Perhatian kini mesti terbagi antara kerja dan keluarga. Ia lebih-lebih tak memiliki waktu luang sedikitpun.

Suatu malam ia terbangun dengan peluh bersimbah membasahi bajunya. Ia mimpi bapaknya. Lelaki itu tampak kurus dan tua. Tiba-tiba ia menjadi khawatir, jangan-jangan ada yang terjadi dengan bapaknya. Selama ini dia belum pernah memimpikan orangtua itu. Saat itu juga Ahmad memutuskan untuk pulang.

Namun rencananya akhirnya tertunda kembali. Ada meeting penting yang tidak bisa dilewatkannya keesokan harinya. Dan begitu pula keesokan harinya. Dan esoknya lagi... Selalu ada saja sesuatu yang menghambat dirinya melangkah kembali ke kampung halamannya.

Sampai kemudian suatu hari di sela kesibukannya, ia akhirnya pulang juga. Ia bertekad menengok bapaknya meski hanya sehari, karena rasa tak tenang terus menghantuinya.

Ia sampai di kampungnya saat subuh menjelang. Rumahnya sepi dan gelap. Saat itu jantungnya mulai berpacu kencang. Ada sebuah firasat tak enak singgah di hatinya. Rumah itu terkunci. Berkali-kali Ahmad mengetuk dan memanggil nama bapaknya namun tak ada jawaban yang terdengar.

Seorang tetangga keluar, mendengar ketukannya.

"Cari siapa, Nak?"

Ahmad mengenali wajah yang telah menua itu. Wajah sahabat bapaknya, pak Sudiro.

"Pak Sudiro, saya Ahmad. Saya baru pulang."

Pak Sudiro tampak terkejut, sejenak tak mampu berkata-kata. Ia memandangi Ahmad dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Merasa pangling.

"Ya, Allah! Ahmad? Sudah sebesar ini? Bapak tidak mengenalimu lagi, Nak."

Ahmad tersenyum seraya sungkem pada Pak Sudiro.

"Bagaimana keadaanmu, Nak? Sehat? Baik?"

"Baik, Pak. Saya datang menjenguk Bapak. Tapi sudah saya ketok lama, tidak ada yang buka pintu. Bapak tahu ke mana Bapak saya?"

Seketika itu juga raut wajah Pak Sudiro berubah. Matanya berkaca-kaca.

"Pak? Bapak saya kenapa?"

"Bapak kamu sudah meninggal, Nak. Beberapa hari yang lalu."

Bagai petir lewat, Ahmad berdiri terpaku di tempatnya. Jantungnya seakan terhenti saat itu juga.

"Bapakmu sakit, Nak. Sebelum meninggal dia selalu menyebut-nyebut namamu. Tapi kami tak tahu harus mencarimu di mana. Selama ini kami tidak punya berita tentang dirimu."

Ahmad terjatuh berlutut di atas tanah tempatnya dibesarkan. Hilanglah semua harapannya untuk menemui sang Bapak untuk terakhir kalinya. Penyesalan datang bertubi-tubi menyerangnya. Harusnya dia pulang lebih awal. Harusnya dia datang menengok bapaknya meski dia tak punya uang. Harusnya ada sedikit waktu bisa dia sisihkan untuk melihat bapaknya yang begitu menyayanginya itu.

Kini bapaknya telah tiada. Meninggal dengan kerinduan yang tak tersampaikan. Ahmad merasa bak anak durhaka yang telah meninggalkan sang Bapak dalam rasa khawatir. Ia bahkan tak ada ketika bapaknya sakit dan membutuhkannya. Padahal bapaknya selalu ada untuknya. Selalu menyemangatinya, "Ayo, Nak! Kau pasti bisa!" Suara bapaknya terngiang-ngiang kembali dalam kepalanya. Suara yang selalu terdengar saat langkahnya terasa berat, saat kehidupan kota terasa terlalu kejam. Suara itu selalu ada di sana, menyemangatinya. Bapaknya tak pernah meninggalkannya sekejap pun dalam langkahnya.

Tangisnya luruh. Tak ada kata yang mampu diucapkannya lagi. Semua sudah terlambat. Kata maaf, kata cinta maupun kata sesal. Tak sempat terucapkan lagi, selamanya...

Kadang kita merasa memiliki waktu yang masih panjang dan menunda segala bisikan hati untuk melakukan sesuatu. Namun saat takdir telah berbicara, kita baru menyadari bahwa waktu datang dan pergi begitu cepat. Tak pernah menunggu kita. Akankah kita rela memeluk sesal dan berteman airmata selamanya?

* Friend, do it now, what you have to do. Maybe there is no tomorrow...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya