Minggu, 30 Agustus 2009

Cahaya Dalam Kegelapan

Anto seorang pemuda yang sejak kecil bercita-cita menjadi seorang pilot. Namun, apa hendak dikata, suatu hari Anto terserang penyakit pada matanya. Dokter mengatakan mata Anto mengalami infeksi parah. Hampir sebulan Anto mengobati penyakitnya tersebut dengan kekhawatiran yang amat besar. Akhirnya infeksi tersebut sembuh, namun meninggalkan bekas luka pada kornea mata Anto yang membuat penglihatan Anto bermasalah. Dan untuk itu Anto harus mengenakan kacamata. Pupuslah harapan Anto. Bayangan masa depan yang gemilang sirna seketika. Hatinya begitu hancur. Sejak hari itu Anto menjadi seorang yang pemurung. Semangat hidupnya raib.

Keluarganya sangat sedih melihat keadaan Anto yang sering mengurung diri di kamar. Bahkan nilai-nilai Anto di sekolah mulai menurun. Mereka mencoba berbagai cara untuk mendekati Anto dan menghiburnya. Namun tak ada yang berubah. Sampai suatu hari Ibu Anto mengajak Anto menemaninya ke panti jompo, tempat ibunya sering datang membantu secara sukarela.

Di panti itu, Anto melihat seorang gadis kecil bernama Ema. Gadis itu adalah anak pemilik panti jompo. Wajahnya cantik, namun sayang Ema buta. Menurut cerita ibunya, Ema dilahirkan dalam keadaan buta. Dia tak pernah sempat melihat wajah dunia.

Saat melahirkan Ema, ibunya sangat tergoncang. Hatinya sedih tak terkira. Namun karena naluri seorang Ibu untuk menjaga anaknya, wanita itu berusaha menguatkan diri menjaga dan membesarkan Ema. Tak mudah memang. Karena dibutuhkan cara berbeda membesarkan seorang anak buta. Ema tak dapat melihat apapun, hanya bisa mengandalkan penciuman, pendengaran dan perasaannya lewat sentuhan tangannya. Lewat penciumannya, sentuhan tangannya dan pendengarannya Ema kecil bertumbuh.

Seharian itu Anto memperhatikan Ema. Gadis kecil itu begitu sibuk, tak seperti orang buta layaknya. Ia membantu orang-orang di dapur, ikut bersih-bersih, dan merawat kebun kecil di belakang rumah. Anto terpana. Gerakan Ema yang lincah benar-benar membuatnya kagum. Meski matanya tertutup, Ema melakukan semuanya dengan baik. Tangan mungilnya membantunya mengenali benda-benda, bahkan sepertinya Ema telah menghapal baik tempat dan bentuk benda-benda dalam rumah tersebut.

Ibu Ema berkisah, saat Ema berusia tujuh tahun, wanita itu sempat jatuh kembali dalam kesedihan, mengingat kondisi putrinya dan mengkhawatirkan masa depannya. Anak-anak sering mengejek Ema, menertawakan kebutaanya. Suatu hari ibunya menangis tanpa suara. Ema kecil bertanya pada ibunya, "Ibu menangis?" Wanita itu menyangkal dan segera mengusap airmatanya. Kejadian itu berulang beberapa kali dalam hari-hari berikutnya. Suatu hari Ema kecil menyentuh wajah si Ibu dan berkata, "Ibu jangan menangis lagi. Meskipun Ema buta, Ema bahagia jadi anak Ayah dan Ibu. Ibu jangan khawatir."

Sejak itu, Ibu Ema memutuskan untuk berhenti bersedih. Ia tersadar akan kelebihan anaknya dibanding anak-anak yang lain. Ema lebih peka. Ema bisa tahu ia menangis, meski Ema tak melihat. Anaknya bisa merasakan perasaan orang-orang yang berada di dekatnya. Pendengaran Ema pun sangat tajam, ia mampu mengenali orang yang mendekati melalui suara langkah mereka. Juga dari penciumannya. Tak ada rasa syukur yang lebih besar dari seorang Ibu mengetahui anaknya dikarunia begitu banyak kelebihan.

Ema kecil selalu ceria. Ia mengenal keindahan tumbuhan dari sentuhan tangannya pada kelopak bunga dan daun. Juga dari wangi yang singgah di hidungnya. Ia tak bisa melihat terang mentari namun ia selalu bahagia bisa merasakan hangatnya di kulitnya. Dan ia tak dapat melihat wajah orangtuanya, namun ia menyimpan ingatan akan bentuk wajah mereka dari sentuhan tangannya.

Pribadi Ema yang ceria dan selalu mau belajar serta tak mudah berputus asa menjadikannya mudah menguasai banyak hal. Ema kecil bahkan menguasai bahasa Inggris dengan fasih. Ia belajar dengan menyenandungkan lagu-lagu dan mendengarkan kaset-kaset pelajaran bahasa. Ema juga sangat rajin dan bersemangat. Ia selalu membantu pekerjaan orang-orang di panti, tanpa merepotkan orang lain. Bahkan orangtua-orangtua yang tinggal di panti itu sangat dekat dan sayang padanya. Ema sering menghibur mereka dengan nyanyiannya atau menemani mereka bercerita.

Sore itu, pada saat jam minum teh, Ema duduk di depan piano. Jari-jarinya dengan lincah bermain di atas tuts-tuts piano, menciptakan sebuah alunan musik yang sangat merdu di telinga. Anto terpukau. Tak pernah ia mendengar alunan nan indah seperti itu. Kata Ibu Ema, sejak kecil Ema sangat menyenangi musik. Ia belajar memainkan piano dengan bantuan telinganya. Ema menciptakan musiknya sendiri.

Dalam hati Anto ada sebuah rasa iba pada Ema kecil yang tak pernah mengenal terang. Tak pernah punya kesempatan melihat indahnya dunia. Tapi juga ada rasa malu yang menyusup. Anto baru tersadar ia memiliki apa yang tidak Ema miliki, sepasang mata, bisa melihat dunia dan hidupnya dengan begitu jelas. Bisa menikmati banyak keindahan yang ada. Namun ia malah tidak berbahagia, larut dalam kesedihan dan keputusasaan hanya karena cita-citanya pupus di tengah jalan. Harusnya ia bisa lebih ceria dan tegar seperti Ema. Harusnya ia lebih mensyukuri hidup seperti Ema.

Selesai menghibur orang-orang di sana, ibunya memanggil Ema dan mengenalkannya pada Anto. Gadis kecil itu tersenyum. Wajahnya sangat cantik. Kembali Anto merasa iba dan sedih. Seandainya Ema bisa melihat betapa indahnya senyumannya itu... Tak sadar airmatanya menetes. Saat itu kepala Ema kecil menoleh ke arahnya.

"Kakak, kenapa bersedih?"

Anto terkejut, tak mampu berkata-kata. Ia segera menghapus airmatanya.

"Jangan sedih karena Ema, ya..." katanya seraya tersenyum. "Ema memang buta tapi Ema bisa melihat dunia di sini." Ema meletakkan tangannya di kepala kemudian di dadanya.

"Ya, Ema," kata Anto seraya tersenyum haru. Gadis kecil yang tegar. Gadis kecil yang memiliki hati yang begitu lembut dan peka.

Meskipun Ema tak dapat melihat dunia sekalipun namun ia telah menemukan cahaya dalam kegelapan. Dan Ema telah menjadi cahaya dalam kegelapan hidup Anto.


Terinspirasi melihat Andrea Bocelli dan Katharine McPhee menyanyikan The Prayer dalam konser David Foster & Friends.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya