Senin, 31 Agustus 2009

Tuhan, terimakasih...

Sejak kecil Lilith selalu diajarkan untuk berdoa sebelum makan. Mengucap syukur atas makanan yang tersedia hari itu dan meminta berkat atas makanan tersebut. Doa itu biasa dipimpin oleh Ayah atau ibunya. Terkadang Della, kakaknya dan Lilith pun mendapat kesempatan memimpin. Namun bagi Lilith, itu hanya sebuah kegiatan rutin yang dilakukan setiap hari. Tak ada makna yang tertinggal. Tak ada syukur yang benar-benar memenuhi hatinya. Sering ia hanya menutup mata, menundukkan kepala, mengatupkan kedua tangannya dalam sikap berdoa, namun ia tak benar-benar berbicara pada Tuhan. Pikirannya malah mengembara ke mana-mana.

"Tuhan, terima kasih atas makanan hari ini. Berkatilah makanan yang ada ini agar dapat menguatkan tubuh kami..."

Sepotong doa itu tak benar-benar ia resapi artinya. Bahkan sering kali ketika melihat hidangan yang tak membangkitkan selera makannya, Lilith berdoa dengan wajah cemberut. Hatinya tak merasa senang. Terkadang bila ia makan sendiri pada siang hari, ia bahkan tak berdoa sama sekali. Pikirnya, apa yang harus disyukuri? Makanannya tidak enak!

Suatu hari sepulang dari sekolah, Lilith melihat seorang pengemis sedang mengais-ngais tong sampah di pinggir jalan. Perempuan itu mengenakan pakaian compang camping dan tampak lusuh. Wajahnya kotor, rambutnya berantakan. Lilith segera menyingkir, mengernyit tak senang. Tak ingin berada dekat-dekat dengan wanita itu. Namun matanya tak juga lepas dari pengemis itu yang kini tengah membuka bungkusan bekas makanan yang telah dibuang. Lilith merasa jijik. Pikirnya, orang ini bukan manusia, masa makanan bekas dari tong sampah pun masih diinginkannya...

Beberapa hari kemudian, ketika melewati jalan yang sama Lilith kembali menemukan pengemis itu. Tapi kali ini perempuan itu tengah duduk di pojok yang sedikit menjorok ke dalam, samping sebuah toko. Lilith baru saja akan melenggang tak peduli ketika matanya menangkap dua sosok kecil yang berada bersama perempuan itu. Langkahnya terhenti melihat apa yang tengah mereka lakukan.

Seorang dari mereka adalah bocah kira-kira berusia tiga tahun. Wajah mungilnya itu terlihat begitu kotor, seakan tak pernah mandi. Begitupun dengan rambut ikalnya yang tipis. Seorang lagi sudah agak besar, kira-kira berusia enam atau tujuh tahun. Mereka berdua sedang duduk di tanah, mendongak ke arah si perempuan pengemis dengan mulut terbuka lebar, minta makan. Si pengemis dengan tangannya yang kotor meraup nasi dari bungkusan yang tampaknya mirip dengan bungkusan yang beberapa hari lalu Lilith lihat dipungut dari di tong sampah. Kemudian ia menyuapkan makanan itu ke mulut anak-anaknya. Mereka mengunyah dengan wajah gembira. Si bocah kecil malah menunjuk-nunjuk ke arah nasi tersebut, meminta sesuatu. Dan si pengemis kembali mengambil sesuatu dari sana dan menyuap bocah tersebut. Si perempuan sendiri tidak makan, hanya sibuk menyuap dan berbicara pada kedua anaknya. Bocah kecil itu menatap ibunya. Mata bulat yang masih polos itu tampak bersinar jernih. Lilith dapat melihat cinta di mata bocah itu. Cinta yang sama yang ditemukan Lilith di mata perempuan itu ketika ia menatap ke arah anak-anaknya. Mereka tampak saling menyayangi.

Lilith terpaku di tempatnya. Ia ingat masa kecil dulu, ibunya sering menyuapinya. Namun selalu menggunakan piring dan sendok yang bersih. Tangan ibunya pun putih bersih. Dan makanan yang disediakan untuknya selalu bersih dan sehat, dimasak sendiri oleh ibunya, bukan makanan sisa dari tong sampah. Dan selalu ada meja dan kursi untuk tempat makannya. Bukan tanah kotor di pinggir jalan. Tiba-tiba ia merasa sedih. Sedih melihat ketiga orang itu duduk di tepi jalan ini, makan makanan sisa yang telah dibuang yang berasal dari tong sampah. Betapa berbedanya kisah yang dilihatnya di depan matanya sekarang ini dengan kisah yang telah dialaminya.

Sesampainya di rumah, seperti biasa telah tersedia makanan di meja. Ada sayur, ikan, tahu dan nasi yang masih panas, baru saja dikeluarkan dari pemanas. Lilith ingat pengemis itu. Ia juga ingat dirinya sering tak berterima kasih atas apa yang terhidang di meja makan. Ia duduk di kursi, menatap semua hidangan di meja sejenak dalam diam. Matanya terasa panas. Dadanya terasa sesak. Ingat wajah bocah kecil yang gembira mengunyah makanan sisa yang diberikan ibunya. Seandainya saja dia dapat membagi makanan di meja ini pada bocah itu. Airmatanya menetes saat ia mengaitkan kedua tangannya dan menutup matanya. Dan untuk pertama kalinya dengan segenap rasa syukur, ia berucap lirih, "Tuhan, terima kasih..."

Dan sejak saat itu Lilith tak pernah lupa memanjatkan doa syukurnya sebelum makan. Selalu diucapkannya dengan penuh rasa syukur yang sebenarnya. Dan ia tak pernah lupa selalu memanjatkan sebuah doa berisi pengharapan untuk ketiga pengemis yang telah membuka mata hatinya. Juga untuk semua orang di dunia ini yang masih juga menderita kelaparan dan kemiskinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya