Jumat, 26 Juni 2009

Bila mentari berubah warna...

Seperti mentari yang selalu bersinar, memberi cahaya keemasan yang terang, seperti itu juga aku melihat dirimu. Dan aku mengira cahaya itu akan selalu ada, sama, tak pernah berubah. Aku berharap. Harapan yang kini memukul batinku dengan rasa kecewa dan sakit. Dan rasanya tak bisa kuterima kenyataan ini dengan akal sehat. Kini cahayamu itu tak lagi terlihat kuning keemasan. Cahayamu telah berubah warna. Dan aku tak mengenali warna itu. Jiwaku ingin menolaknya. Bagaimana mungkin mentari dapat berubah warna?

Harusnya cahaya mentari hanya memiliki satu warna. Tak pernah berubah dan tak pernah lelah bersinar. Tak pernah menghilang seenaknya. Selalu ada masa yang sama untuk kedatangan dan kepulangannya. Tapi yang pasti, dia tak pernah berubah. Esok akan sama lagi. Bahkan meskipun ribuan tahun telah lewat. Dia tak pernah ingkari janjinya untuk selalu bersinar dan memberikan keindahan cahayanya pada dunia. Keindahan abadi.

Aku telah menempatkanmu pada posisi sebagai mentari. Karena itulah rasa yang kumiliki ketika aku menemukanmu. Bukan hanya sebagai mentariku, tapi mentari untuk semuanya. Tahukah kau betapa terhormatnya tempat itu? Hanya ada satu. Tunggal. Seperti halnya mentari di dunia ini. Aku tak yakin bila kau memahami betapa besarnya pengakuanku ini untuk dirimu.

Bagai mentari, kau bersinar, memberikan cahaya pada orang-orang di sekelilingmu. Kau-lah Dewi, kau-lah Dewa, kau-lah pusat dari semua ini. Cinta yang kau bagikan bagai cinta sang mentari pada dunia. Aku merasakan ketulusan dan kebesaran yang maha besar di sana. Dan aku terpana, terpukau, dan merasa begitu terbekati. Aku merasa memuja dan mencintaimu, bak manusia memuja sang mentari. Dan aku ingin selalu berada di sisimu, selalu merasakan cahaya yang sama, kehangatan yang sama. Inikah yang membuat harap dan asaku terbang terlalu tinggi untukmu?

Namun, hari ini kutemukan cahayamu berubah. Tak seperti kemarin dan hari-hari yang lalu. Tak seperti saat pertama kali kutemukan cahaya itu. Aku tak mengenali warna baru itu. Aku merasa asing padanya. Warna yang tak selaras dengan warna yang selalu kutemukan sebelumnya. Dan tak sehangat rasa yang kemarin. Tak bersahabat lagi padaku. Kemanakah mentari-ku?

Mungkin aku yang salah. Mungkin kau memang mentari tapi bukan mentari. Kau mentari yang menyinari sekelilingmu, namun cahayamu tak sama dengan mentari di atas sana. Cahayamu dapat berubah warna dan rasa. Dan bila aku akhirnya memutuskan untuk tetap berada di sini, di sampingmu, mencintaimu apa adamu, aku harus bisa menanggalkan separuh rasa dan harapku padamu. Karena rasa dan harapku yang sekarang ini, membuatmu tak lagi indah di mataku. Memang, terkadang ketika terlalu banyak rasa dan harap yang berbicara, membuat realita menjadi tak logis dan tak indah lagi. Dan mungkin dengan lebih sedikit harapan, kecewa dan sakitku padamu bisa mengabur dan akhirnya menghilang...

Mungkin, aku telah salah melihatmu sebagai mentari sejati … Karena sejatinya mentari, tak pernah berubah untuk hangat dan terang-nya bagi semesta raya…


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya