Sabtu, 27 Juni 2009

Ayah, engkau di mana?

Wajahnya begitu tampan, dengan tulang rahang yang kokoh. Matanya yang hitam dan lebar, selalu memiliki telaga keteduhan di sana. Postur tubuhnya yang jangkung dan tegap... Aku tidak tahu apakah gambaran itu adalah sepotong ingatanku yang tersisa dari tangkapan mata seorang anak berusia tiga tahun, ataukah kesan yang kudapatkan dari foto hitam putih dirinya bersama ibuku tercinta. Ya, dia adalah ayahku tanpa embel-embel tercinta, karena aku tak pernah tahu bagaimana rasanya mencintainya. Aku tak punya sedikitpun kenangan akan dirinya dan diriku bersama-sama, meskipun hanya dalam potongan masa silam.

Ini aneh... Aku bisa mengingat wajah wanita yang kusebut Ibu itu. Wajah cantik yang memancarkan pesona keindahan dan kelembutan. Tak pernah kutemui sosok seperti dirinya sesudah itu. Dan aku masih ingat betapa bahagia tawanya ketika menggendongku dan bercanda denganku. Aku bahkan masih ingat tatapannya yang penuh cinta padaku. Cinta yang masih membekas di dalam hatiku hingga kini, meskipun waktu telah terlempar begitu jauh, menembus begitu banyak kehidupan.

Tapi lelaki itu... Aku tak mampu mengingat sentuhan tangannya di kulitku, ataupun tatapannya padaku. Aku hanya ingat sosok dirinya yang begitu mempesona-ku. Sosok tak nyata yang telah membuatku ingin jatuh cinta padanya. Walau aku tak ingin. Walau rasanya ingin merasakan yang sebaliknya, karena harusnya dia tak pantas menerima cintaku ini.

Dia selalu terasa begitu jauh, tak tergapai olehku. Selalu di sana, tak tersentuh, bahkan oleh tangan kecilku dulu. Seakan-akan dia hanya memiliki satu pintu di hatinya, dan pintu itu hanya diperuntukkan untuk ibuku. Dan ketika Ibu pergi meninggalkannya, pintu itu kembali tertutup rapat, tak pernah terbuka lagi. Oh, Ibu... Seandainya kau tahu apa yang telah kau lakukan padanya... Kepergianmu menghisap habis seluruh cinta dan jiwanya sebagai seseorang.

Aku memang masih kecil saat itu. Saat kau terbaring karena tubuhmu yang lemah. Begitu kontras. Kau memiliki gairah hidup dan cinta yang besar. Tapi tubuhmu tak pernah memiliki tenaga dan semangat yang sama. Dan hari itu ketika tubuhmu tak mau lagi bekerjasama, kau terbaring di sana, menutup matamu dan menghembuskan napasmu yang terakhir.

Ketika aku tiba bersama Nenek tercinta, kau telah pergi. Di antara kerumunan orang-orang, dia berlutut di sana. Di tepi pembaringanmu. Dia tak henti menatapmu dalam diam. Tapi dia tak menangis. Dia tak bersuara. Ingin rasanya aku memeluknya dan menghiburnya. Namun, aku tak berani. Aku takut dia menolakku. Aku takut menyela pertemuan terakhir kalian berdua.

Dan ketika semua orang telah meninggalkanmu di bawah tanah merah yang masih basah, dia masih berlutut di sana. Tak bergeming sedikitpun. Bahkan Nenek pun akhirnya membiarkannya dan menuntunku pulang. Aku masih sempat melihatnya. Ekspresi kesedihan di wajah tampannya itu... Setiap kali kuingat ekspresi itu, aku tak mampu menahan sedih dan airmataku untuknya. Ekspresi yang tak memiliki napas kehidupan lagi di sana. Seakan-akan dunianya ikut luruh hancur beserta dengan kepergianmu.

Itu terakhir kalinya aku melihatnya. Terakhir kalinya dalam hidupku. Karena dia tak pernah pulang lagi. Dia tak pernah kembali lagi. Entah ke mana. Entah di mana...

Ada saat-saat ketika aku menyalahkannya karena tidak mencintaiku. Ada saat-saat di mana aku membencinya karena meninggalkanku. Tapi juga ada saat-saat di mana aku begitu merindukannya, berharap bahwa dia ada menggantikan cintamu, Ibu...

Namun, kini aku mengerti apa yang membuatnya pergi. Bukan karena dia tak peduli padaku. Juga bukan karena dia tak mencintaiku. Dia hanya terlalu mencintaimu, Ibu. Mencintaimu dengan segenap jiwanya, sehingga ketika kau pergi, jiwanya juga ikut terbang bersamamu. Dan dia patah hati ketika kau tiada. Dia tak mampu lagi menghadapi dunia ini tanpa dirimu di sisinya. Semua itu karena terlalu besarnya cintanya padamu. Dan karena cintanya itu semuanya untukmu, Ibu, aku memaafkannya. Karena dia begitu memujamu, kau-lah segalanya, kau-lah pusat dunianya...

Ayah...
Aku hanya berharap kau tahu aku ini ada. Di sini, memikirkanmu, menunggumu. Aku selalu mengingat wajahmu dengan baik. Wajah itu bak telah terlukis abadi di dalam hatiku yang patah ini. Aku hanya berharap bisa bertemu denganmu. Sekali saja. Karena aku ingin memelukmu, menghibur dukamu, mengobati patah hatimu dan mengatakan padamu, aku ingin mencintaimu. Namun, rasanya waktu dan takdir tak akan pernah mengabulkan keinginan hatiku ini.

Ayah, engkau di mana?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya