Senin, 22 Juni 2009

Tentang hari ini...

Teman, punya waktu sebentar...?

Aku rasanya ingin berteriak pada mereka semua, tolong tinggalkan aku!!! Orang-orang ini, membuat kesabaranku habis. Membuat aku kehilangan seluruh kebahagiaan yang sejak awal aku membuka mata tadi coba kuhadirkan dengan menata hatiku. Awal hari harus dimulai dengan hati yang penuh syukur dan ketenangan. Aku percaya akan hal itu. Aku percaya bahwa hati adalah titik awal pikiran-pikiran yang baik, yang akan berlanjut pada satu hari yang indah.

Tapi gangguan ini, sungguh membuatku ingin berteriak. Walau tak juga ada satu kata yang berhasil kuteriakkan pada mereka. Selalu, seperti ini. Kembali pada banyak pertimbangan akan semuanya, kembali pada kata hati yang meminta untuk menahan amarah. Tapi aku sungguh lelah. Rasanya ingin membawa kakiku berlari jauh, jauh dari tempat ini. Memutuskan semua hubungan dengan semua yang mengganggu itu. Menutup telingaku rapat-rapat. Juga menghentikan pikiranku untuk berjalan. Biarkan aku damai, tolong...

Jika ada suatu tempat, di mana aku bisa pergi... Persetan bila mereka menganggap aku lari. Juga persetan bila mereka mengira aku bersembunyi. Juga persetan bila mereka kebingungan mencari aku. Aku hanya ingin pergi ke tempat itu, dalam diam, mencoba menata kembali hatiku yang kacau balau ini. Karena rasanya hanya diam yang mampu mengusir amarahku ini. Hanya diam yang bisa membuatku menangkap kembali ketenangan jiwa.

Rasanya begitu tidak masuk akal. Semuanya ini. Tuntutan-tuntutan yang tak pernah habis. Tuntutan yang begitu kekanak-kanakan, seakan mereka semua bayi-bayi yang harus aku suapi setiap masa. Yang harus aku hapus ingus dan air liurnya agar tetap kelihatan bersih dan cantik. Yang selalu harus aku gendong satu persatu dengan kedua tanganku ini. Ya, Tuhan... Sadarkah mereka, tanganku hanya ada dua!

Harusnya mereka malu, memakai begitu banyak predikat terhormat namun selalu hanya mampu duduk diam, bagai anak bayi yang belum bisa berjalan. Bila benar-benar bayi dan hanya benar-benar duduk dalam diam, mungkin masih tersisa sedikit rasa hormat dan cintaku. Tapi mereka tak benar-benar diam, terus bertanya, menuntut, memberi perintah.... tanpa ada sedikitpun inisiatif untuk mencari tahu sendiri, mengerjakan sendiri. Padahal mereka bukan bayi, mereka tidak cacat, mereka tidak sakit, mereka jauh dari tidak mampu... Mereka sehat-sehat saja, tampak hebat dan bahkan kelihatan begitu rileks, tanpa beban...

Sudah berulang kali aku coba jelaskan dalam kalimat-kalimat teguran yang sedikit mencubit. Berharap mereka bisa sadar dan melihat protes-ku. Lalu berubah menjadi kalimat yang lebih memelas, please... Tapi, masih juga mereka seakan tak dapat melihat peluh dan sakitku ini. Lalu, aku harus bagaimana? Meneruskan semuanya dan memakai topeng senyum agar semuanya kelihatan baik-baik saja? Tidak. Aku tidak baik-baik saja saat ini. Aku merasa begitu terganggu. Orang-orang itu begitu mengganggu seluruh hidupku yang sederhana ini. Dan mereka terus seperti itu, bagaikan aku ini terbuat dari baja yang tak akan pernah berubah karena apapun juga. Dan tak akan pernah dapat ditembus atau tergores oleh belati...

Aku bukan perempuan super. Aku punya hati dan rasa. Aku juga butuh penghargaan dan ruang untuk bernapas seperti yang aku inginkan. Tolong jangan terlalu menganggap tinggi diriku dan merampas semua hakku sebagai seorang perempuan biasa. Aku tak suka itu. Aku tak mau itu. Aku capek dengan ketidakdewasaan ini. Aku capek dengan semua harapan terima beres yang selalu mereka anut. Kalau semua yang bukan bagianku harus aku bereskan dalam waktu 24 jam ini, lalu kapan aku mulai membereskan bagianku sendiri? Kalau memang aku harus membereskan semuanya, aku mau menuntut semua jam dari kehidupan mereka. Berikan padaku dan aku akan memberikanmu semua yang kau minta beres, dengan tanpa mengeluh. Bagaimana???

Kadang aku bertanya sendiri, apa ketegaranku yang membawaku ke tempat ini? Tempat mereka semua menggantungkan begitu banyak harapan dan tuntutan? Apa karena riangku dan murah hatiku menjadikan aku terlihat bagai dewa penolong bagi mereka? Tapi masalahnya aku memang suka menolong, tapi aku bukan dewa. Aku ini manusia biasa yang juga terkadang bisa merasa lelah. Yang kadang punya batas toleransi dan pandang atas apa yang benar-benar butuh aku tolong dan tidak. Kadang-kadang aku malah merasa sebagai tempat daur ulang. Semua sampah dan tali kusut dilemparkan begitu saja padaku dan aku harus mendaur ulang kembali semuanya dan memberikan barang yang kelihatan benar-benar baru pada mereka. Tanpa cela. Tanpa sisa kekusutan. Karena mereka tak akan terima itu. Mereka selalu punya banyak simpanan rasa ketidakpuasan dan standar penilaian yang tinggi. Lalu ketika aku punya sampah dan tali kusut, di mana aku akan mendaur ulang? Di mana aku bisa membetulkan kekusutan itu? Masalahnya tempat daur ulang dalam diriku ini selalu penuh, terlalu penuh malah. Bahkan mesinnya hampir tak mampu beroperasi dengan benar lagi, karena selalu dipakai melebihi kemampuan yang dimilikinya. Kapasitas mesinku ini harusnya ditambah. Dan kualitas mesinku ini mesti di-up grade!

Yang aku minta hanya sedikit toleransi. Bagi-bagi rasa. Bila mereka mampu mengerjakannya sendiri, hal-hal sepele tak berarti, kenapa mesti menunggu aku turun tangan? Aku bahkan sering jadi mesengger... Kalau begitu harusnya mereka buang saja semua alat komunikasi yang mereka punya, karena aku bisa jadi pusat komunikasi. Layaknya Telkom. Tidak, harusnya lebih hebat dari Telkom, karena aku yang akan melakukan sendiri semua panggilan dan aku yang akan menyampaikan sendiri semua pesan. Tinggal bayar saja biaya jasa kepadaku tiap bulan. Beres. Lagipula kalau ini semua sudah menjadi pure business, aku akan bersikap profesional dengan menganggap mereka adalah customer yang mesti diberikan service terbaik beserta dengan senyum terindah yang aku punya.

Dan di sinilah aku sekarang... Tidak ada tempat untuk pergi, tidak mampu berlari menjauh. Di sinilah aku dengan semua keluh kesah yang mungkin membingungkanmu. Maaf menjadikanmu tempat menaruh sampah-sampah dan tali kusutku. Pinjam sebentar. Soalnya kalau tidak di daur ulang secepatnya, sampah-sampahku ini bakal membusuk dan tali-tali yang kusut bakal semakin kusut. Lalu bagaimana nasib sampah-sampah mereka yang mereka sudah buang kemari? Seandainya mereka menerima returan sampah, pasti akan aku paketkan semua ini dan aku kirim kembali pada mereka. Membayangkan wajah-wajah mereka saja yang membuka paket itu dengan ekspresi shock, membuatku ingin tertawa setengah mati. Btw, itu hanyalah khayalan penghiburanku, sampah-sampahnya masih di sini... Harus tetap ku-daur ulang. Jangan sampai tertunda prosesnya, membuat tumpukannya semakin tinggi dan merusakkan mesin daur ulangku. Soalnya aku hanya punya satu mesin ini. Mesin yang harus aku minyaki setiap hari agar dapat berfungsi dengan baik di antara kerja kerasnya...

Teman,

Tolong doakan aku. Aku sangat butuh doamu saat ini. Tolong mintakan kekuatan untukku. Untuk bisa melanjutkan hari-hariku ini, yang kadang terasa begitu berat. Tolong juga mintakan lebih banyak kesabaran, agar aku tak sering-sering ingin berteriak marah. Juga tolong mintakan lebih banyak kebijaksanaan memenuhi hatiku agar aku bisa melihat semuanya dengan cara yang berbeda. Memahami semuanya dengan lebih baik... Dan yang terakhir, jangan lupa mintakan aku sekotak cinta, karena stok cintaku ini rasanya hampir habis....

Terima kasih teman...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya