Rabu, 09 Juni 2010

Hidup

Dengan kondisi masih melayang-layang, Fika membuka pintu toilet wanita. Baru saja kakinya melangkah masuk, ia tertegun melihat ramai orang yang berkerumun, tengah memandangi sesuatu di lantai. Fika mendekat. Ia tercekat.

Seorang gadis muda terkapar di lantai. Mulutnya mengeluarkan busa dan tubuhnya mengejang sekali-sekali. Matanya masih terbuka, menatap lemah, kosong ke udara. Dan seorang gadis lain, yang tampaknya teman gadis yang terkapar itu, berjongkok di sebelahnya. Panik memanggil-manggil nama gadis itu, yang tampaknya sudah setengah sadar.

Terdengar gumaman tak jelas dari orang-orang di sekeliling. Tak ada yang membantu. Tampaknya semuanya ketakutan dan bingung. Ataukah memang tak ada benar-benar peduli, selain menjadikan hal itu sebagai tontonan?

Fika mendekat. Jantungnya bertalu cepat. Keringat dingin membasahi keningnya. Masih ada sisa pengaruh dari sebutir obat yang diminumnya tadi ditambah dengan rasa shock-nya melihat kejadian di depan matanya itu. Begitu nyata. Begitu menyedihkan. Dan tiba-tiba ia merasa ditampar keras. Kepalanya terasa semakin berat. Ia mundur, bersandar pada wastafel. Matanya mengabur. Tiba-tiba ia ingin menangis.

Gadis itu, dengan tatapan kosong dan lemah, seakan sedang mengiba pada kehidupan. Akankah dia mati? Sadarkah dia apa yang tengah dialaminya? Menyesalkah dirinya? Ataukah ia telah pasrah, sengaja mengundang kematian itu sendiri?

Bukankah dirinya pun seperti itu? Mengejek dan menantang kematian? Bila tidak, lalu apa yang dilakukannya di sini? Di diskotik yang dipenuhi orang-orang tak bahagia yang mencari kebahagiaan semu ini? Menggunakan segala cara dan mempersetankan nilai sebuah kehidupan itu sendiri. Menyampahkan kehidupan, tidak menginginkannya dan terus-menerus meneriakkan rasa putus asa dan kecewa pada kehidupan. Tapi sebenarnya mereka tak pernah benar-benar sadar bagaimana bila akhirnya kehidupan itu benar-benar pergi? Dan kini, ketika ia menyaksikan sendiri di depan matanya kematian begitu dekat, ia begitu terguncang.

Seorang wanita berseragam masuk. Sepertinya karyawan dari gedung itu. Ia mendekat, menyuruh semua orang menjauh. Ia lalu memberi pengarahan pada gadis satunya lagi. Dan akhirnya bersama-sama mereka memapah gadis yang OD itu keluar dari toilet.

Fika hanya mampu memandangi kepergian gadis itu dengan sebuah harap dalam hatinya, semoga gadis malang dan tak bahagia itu tertolong.

Di luar toilet seorang lelaki baik hati telah menunggunya. Lelaki yang belakangan ini menemaninya, menggantikan kekosongan hatinya. Lelaki itu tampak khawatir melihat wajah pucat Fika. Namun Fika tak mampu berkata, tak mampu menceritakan apa yang telah terjadi di dalam sana. Lelaki itu, bukan lelaki yang dicintainya. Tapi juga bukan lelaki yang telah membuatnya melangkah masuk ke dunia kelam itu. Bukan. Bukan dia. Tapi lelaki yang lain. Lelaki yang telah menghancurkan hatinya menjadi kepingan-kepingan tak berharga. Lelaki yang sangat dicintainya, dipujanya dan menjadi harapan hidupnya. Lelaki yang telah datang, menawarkan cinta dan memberikan cintanya di awal. Namun lelaki itu pulalah yang kemudian menghempaskannya jatuh tanpa perasaan. Meski kata maaf terucap. Meski ia menyatakan ribuan penyesalan. Namun tetap saja, Fika merasa tak berharga lagi ketika cinta itu harus pergi.

Di dalam kamarnya yang remang-remang dan sepi malam itu, Fika duduk sendiri. Mengambil kertas dan pena. Ia harus menuliskan sebuah surat. Surat untuk lelaki itu. Lelaki yang telah memporakporandakan hati dan hidupnya.

Tadi, aku melihat seorang gadis terkapar OD di lantai toilet. Kasihan sekali. Ekspresi wajah gadis itu sarat akan kesedihan dan keputusasaan. Tapi entah mengapa, aku mendengar sebuah teriakan minta tolong darinya. Minta agar bisa dilepaskan dari kematian yang seakan sudah siap menjemputnya. Dan aku melihat diriku di sana, terbaring tanpa daya, sama seperti gadis itu. Dan aku tiba-tiba merasa begitu iba pada diriku sendiri. Diriku yang belakangan ini begitu kubenci. Yang juga begitu membenci hidup tapi sekaligus takut pada kematian. Ya, belakangan ini aku berusaha membuang hidup dan mengundang kematian. Semua ini karena dirimu. Kau yang membuatku begini.

Tahukah kau kalau aku mencintaimu dengan begitu besar? Lebih besar dari cintaku pada diri dan hidupku sendiri? Dan ketika kau mengecewakanku, aku marah pada diriku sendiri. Marah karena aku tak cukup pantas untuk kau cintai. Marah karena aku tak mampu membuatmu mencintaiku sebesar rasa cintaku ini. Dan aku menghukum diriku sendiri dengan mencoba menghancurkan diriku sendiri. Serta mencoba menghancurkan hidup yang aku miliki. Karena hidup ini tak lagi menjadi indah tanpa kau di sini.

Tapi aku juga marah padamu. Marah karena cintamu tak pernah menjadi benar-benar baik, seperti apa yang terucap dulu. Ketika kau melangkahkan kakimu menjauh dariku, jalan di hadapanku langsung menghilang, tak berbekas. Dan aku merasa seperti dihadapkan ke tepi tebing yang tinggi dan curam. Begitu ingin diri ini melompat ke bawah sana. Melayang jatuh dan hancur berkeping-keping tanpa bentuk lagi. Biar saja. Bukankah kau tak peduli? Aku pun tak peduli lagi. Biar mati sekalian rasa ini. Biar punah sekalian diri ini. Menghilang selamanya.

Tapi, tahukah kau di balik semua rasa marahku ini? Hatiku sebenarnya bersedih. Bersedih karena cintaku telah terbang meninggalkanku. Dan meski aku telah mengemis dan mengiba pada kehidupan, dia tetap saja begitu arogan, tak berbelas kasih padaku. Karena itu aku membencinya, tak ingin lagi menyambutnya. Dan aku tak pernah mau mengakui kesedihanku ini. Memakai topeng kemarahan ini, padahal di dalam diri ini sebenarnya ada harap bila kehidupan mau menampakkan wajah baiknya kembali padaku. Dan tadi, di wajah gadis itu aku melihat topeng yang sama. Aku merasakan harapan yang sama. Sama seperti diriku.

Aku tak tahu apa yang akan kutemui esok hari. Juga tak tahu harus bagaimana menghadapi hidup yang masih terus berlanjut ini. Tapi, aku tak mau lagi menantang kematian. Tidak. Aku tak ingin seperti gadis itu. Aku berharap dia baik-baik saja dan masih diberi kesempatan oleh kehidupan. Karena aku tahu dia pun tak benar-benar menginginkan kematian. Hanya saja ia telah begitu putus asa dan kecewa dalam menemukan cinta bagi dirinya sendiri.

Aku akan mencoba memulai hidupku yang baru, di lembaran yang baru. Tanpamu. Tanpa mengingatmu dan semua rasa indah serta sakit yang pernah ada. Akan kulepaskan semua, agar aku mampu bernapas lagi dalam hidup ini. Aku tak ingin tenggelam dalam duka dan perihku ini. Juga tak ingin lagi memakai topeng ketegaran palsu. Aku ingin belajar mencintai diriku kembali. Dan belajar merangkak maju. Semoga suatu hari nanti aku akan dapat berdiri dan berjalan kembali di atas kedua kakiku. Semoga...

Fika melipat surat itu, memasukkannya dalam amplop dan meletakkannya di meja. Mungkin besok akan diposkannya. Mungkin juga tidak. Tidak penting lagi. Yang terpenting, dia telah mengungkapkan semua kejujuran hatinya. Dan juga telah membuat pilihan untuk kembali menyambut hidup seperti dulu lagi...

2 komentar:

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya