Minggu, 18 Juli 2010

Lukisan Kita...


Dulu aku kira cerita cinta dalam hidupku akan seperti cerita Cinderella. Aku, akan menjadi pangeran yang akan menemukan seorang gadis sederhana, baik hati dan lemah lembut yang akan menjadi puteri hatiku. Akan kulindungi dirinya dan kuberikan cintaku seutuhnya. Dan puteri-ku begitu memujaku, mencintaiku dengan sepenuh hati dan jiwanya. Dan akan bahagia selamanya.

Dan ketika kutemukan sosok itu padamu yang begitu memukau hatiku, menjadi pusat duniaku, segera kupinang dirimu. Manis. Hidup kala itu begitu manis. Dan aku menjadi pangeran sesungguhnya dalam dunia nyata, bukan lagi hanya sebuah angan dan mimpi.

Tapi waktu seakan begitu cepat berlalu. Perlahan-lahan bagian demi bagian lukisan itu memudar, menghilang, menyisakan sebuah lukisan nyata yang tak lagi terlihat indah. Bahkan terkadang tampak begitu menyedihkan, membuatku tak berhasrat lagi memandanginya. Mencoba melupakannya, menatap ke arah yang berbeda. Meski diriku masih berada di dalam lukisan itu sendiri. Tak pernah cukup keberanian diri untuk melangkah keluar dan meninggalkannya.

Kemarin ketika kau duduk di sampingku, aku menatapmu. Ada rasa asing yang menampakkan wajahnya padaku. Tapi juga ada sebuah wajah lain yang mengucapkan salam padaku. Wajah yang begitu kukenal. Wajah yang dulu sering datang menemani. Wajah kerinduan. Ya, kerinduanku akan dirimu. Baru kusadari begitu lama waktu telah berlalu, membawa jiwamu jauh dari jiwaku. Meski sosokmu masih ada di sini. Selalu di sini...

Di mana cinta itu, Sayang? Mengapa tak lagi terasa? Dan mengapa seakan tak berarti sedikitpun untukmu? Seakan kau hanya inginkan ragaku di sini. Meski jiwa dan rasaku telah terbang jauh, kau tak peduli. Tak pernah menjadi begitu penting lagi bagimu. Seakan bahagia itu hanya ada dalam selembar kertas jaminan hidup dan atap yang sama yang kita naungi. Aku sedih.

Aku tak lagi merasa menjadi seorang pangeran tampan yang hebat. Dan kau tak lagi terlihat indah seperti Cinderella-ku. Lalu harus kuapakan impian ini? Buang jauh dan lupakan? Tapi dia telah melekat kuat dalam hati dan jiwa ini. Melebur dalam kekecewaan dan hasrat yang semakin melemah.

Aku masih seorang pangeran dan kau masih menjadi puteri itu. Tapi hanya dalam lukisan sempurna tak nyata. Yang menjadi lukisan yang terpajang di dinding dunia. Yang hanya bisa terlihat sempurna di mata dunia. Namun ketika mata hati ini menatapnya, bagian-bagian indahnya telah luntur menyisakan warna pudar. Tapi tak pernah mampu kubuang lukisan lama yang telah tergantung bertahun-tahun itu. Hanya karena dunia. Dunia, yang selalu berbicara. Meski dia tak pernah sungguh-sungguh tahu dan mengerti tentang aku. Tentang kau. Tentang kita.

Dan di sinilah kita, memakai topeng pangeran dan puteri dengan wajah bahagia. Menutupi wajah kecewa dan sedih yang ada. Dan di sinilah kita, dalam panggung sandiwara yang mengisahkan kisah Cinderalla. Memerankan tokoh-tokoh penting dengan baik bak aktor kawakan. Menyimpan rapat-rapat semua sakit dan sedih selama raga masih berada di atas pentas. Dan berkubang dalam derita dengan wajah sempurna kebahagiaan...

Photo Link: http://www.google.co.id

4 komentar:

  1. cinta itu tak pernah berpura-pura..

    BalasHapus
  2. Yup, you are right... Banyak org bertahan dlm pernikahan meski cinta tak lagi ada, karena itu mereka harus berpura-pura...

    BalasHapus
  3. naskahnya jangan sinetron sabun colek yaa...

    BalasHapus
  4. Deterjen aja, Lin... Sabun cair juga okeeeeh

    BalasHapus

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya