Minggu, 08 Agustus 2010

Janji Bapak...


Malam itu sekali lagi terlintas di pikiran Thea untuk mengakhiri hidupnya yang pahit itu. Setelah lelah menghabiskan waktu dengan menangis dan meratap sementara tak ada satu pun orang yang peduli. Seakan-akan tak pernah ada cinta untuk dirinya. Meskipun dari orang-orang yang sedarah dan sedaging dengannya.

Thea membenci hidupnya. Meski telah berulangkali mencoba merenungkan arti hidupnya, ia tak menemukan satu alasan pun mengapa ia harus tetap hidup. Dari hari ke hari ia semakin terpuruk dalam keputusasaan dan rasa sendirinya. Dan pikiran untuk mengakhiri semuanya terus datang menggoda. Sampai malam itu, ia memandangi sebuah pisau lipat. Jantungnya berdetak kencang. Ada ragu dan ada bujukan merdu. Ia tak mampu mendengar suara-suara itu dengan jernih. Saat hatinya mulai goyah dan ia mencoba mengumpulkan keberanian diri, tiba-tiba dia mendengar suara yang memarahinya.

"Kalau mau bunuh diri jangan di sini!!!"

Thea mendongak kaget dan melihat wajah Ibu yang tengah mengintip di jendela kamar yang terbuat dari kawat tipis, menangkap basah dirinya. Thea terhenyak. Apa tadi yang dikatakan ibunya? Jangan di sini? Jadi, sebenarnya wanita itu tak peduli bila dia bunuh diri? Yang penting jangan di sini? Jangan di rumahnya? Kenapa? Karena ibunya takut menjadi susah karena dirinya? Itukah pembuktian bahwa memang ibunya tak mencintai dan menginginkannya?

Dan saat itu Thea tak perlu waktu lagi untuk mengumpulkan keberanian, pisau itu langsung mengiris kulit dan dagingnya. Thea kalap. Gelap mata. Tak ada lagi nalar yang bekerja. Hitam semua.

Dan entah berapa banyak irisan yang singgah di kulit dan dagingnya sampai pintu kamar berhasil didobrak dari luar. Theo kakaknya masuk, merampas pisau itu dari tangannya. Sementara Andita, kakak perempuannya mencoba memegangi Thea yang mulai histeris. Thea memberontak dalam jeritan dan tangisnya. Dan kemudian sebuah hantaman keras membuatnya terlempar dan terdiam sejenak. Pandangannya berkunang-kunang. Sakit yang luar biasa terasa di sebelah kepalanya. Theo melayangkan tinjunya padanya. Mata lelaki itu melotot dan dia berteriak pada Thea, "Sadar!!!"

Bukannya sadar, Thea balas memelototinya dengan mata basah dan merah serta berteriak, "Ayo pukul lagi! Pukul! Pukul sampai mati!!!"

Dan entah berapa lama pergumulan itu terjadi hingga Bapak datang, menarik Thea dan memeluknya kuat. Meski Thea masih berusaha memberontak. Bapak lalu berbisik dengan suara bergetar, "Nak, nanti kita pergi dari tempat ini. Kita hidup berdua saja." Sebuah bujukan atau janji? Entahlah... Namun ketika Thea melihat padanya, Thea menemukan mata tua itu basah. Untuk pertama kalinya Thea menemukan cinta untuk dirinya. Dan seketika itu juga perlawanannya terhenti. Thea hanya menangis, tanpa jeritan lagi. Hanya menangis dengan isakan yang menyayat hati.

Namun tak ada yang berubah setelah hari itu. Meski luka-lukanya berangsur sembuh. Ada guratan-guratan yang tertinggal di tangannya, yang selamanya mengingatkannya akan hari kelam itu. Hari di mana ia memberontak marah pada hidup. Hari di mana pemberontakannya itu terhenti karena suara dan janji Bapak padanya. Tapi tetap saja tak ada cinta dan perhatian untuk dirinya setelah hari itu berlalu. Sikap Ibu yang sinis dan selalu penuh celaan masih tetap menjadi santapan batinnya. Pertengkaran dan makian masih menjadi warna rumah itu. Dan Bapak? Di mana Bapak? Masih di sana. Di dalam rumah itu. Sesekali menghilang, namun selalu ingat untuk pulang. Dan tidak pernah mengeluarkan satu patah kata pun padanya lagi. Seakan tak pernah berada di sana dan tak melihat apa yang terjadi dalam rumah itu. Dan seakan ia tak pernah mengucapkan kalimat itu pada Thea. Janji itu... Hilang begitu saja. Seperti hanya sebuah khayalan kosong dari hatinya sendiri yang haus akan cinta.

Waktu berlalu begitu cepat. Kini, Thea telah terbawa jauh dari bayangan gelap masa lalu dan kesedihan pahit hidupnya. Meski masih terseok-seok, kini ia telah mampu menatap hidup dengan lebih berani. Langkahnya pun telah jauh meninggalkan tempat dan orang-orang yang dulu meninggalkan begitu banyak kepedihan dan cerita sedih dalam hidupnya. Termasuk Bapak...

Tadi malam Thea mendengar sebuah kabar yang mengguncangkan jiwanya. Bapak telah pergi. Dan ketika Thea pulang, ia hanya menemukan sebuah peti yang telah tertutup rapat. Bahkan sosok Bapak tak bisa lagi dilihatnya untuk terakhir kalinya. Thea hanya bisa mendekati peti itu, merabanya dengan tangan yang bergetar. Dan suara Bapak terdengar kembali, "Nak, nanti kita pergi dari tempat ini. Kita hidup berdua saja..." Suara yang tak pernah mau hilang dari dalam hati dan ingatannya. Selalu membayangi langkahnya dan mengikat jiwanya dalam harap tak pasti.

Airmata Thea menetes jatuh satu persatu. Selama ini dia berusaha melupakan janji Bapak itu. Selama ini dia berpura-pura tak peduli pada janji itu. Meskipun sebenarnya janji itulah yang membuat hatinya yang telah hancur menjadi luluh. Janji itu yang dibawanya dalam setiap detik perjuangannya untuk tetap hidup. Janji yang membuatnya merasa bahwa Bapak mungkin menyayanginya, atau setidaknya pernah menyayanginya. Dan kini, lelaki itu pergi begitu saja meninggalkannya. Meninggalkan janjinya itu, tanpa pernah mampu membuatnya menjadi nyata. Mengikis semua sisa harapan yang tertinggal di hati Thea, selamanya.

Thea memeluk peti keras yang terasa dingin itu. Membuat tubuhnya semakin menggigil. Dan lirih ia berbisik, "Thea telah lama menunggu Bapak, berharap bisa tahu, apakah Bapak menyayangi Thea? Hanya itu..."

Peti kayu itu basah oleh airmata Thea. Namun hanya kebisuan yang memantul di udara hampa. Sehampa hati Thea kini, ditinggalkan oleh sang Bapak, tanpa sebuah jawaban. Selama-lamanya...

Photo Link: http://www.google.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya