Kamis, 12 Agustus 2010

Selamat Jalan, Baby...


Aku mendapat kabar kepergiannya saat aku baru membuka mata pagi itu. Membaca sms yang sudah masuk pada pukul dua dini hari, aku serasa lumpuh. Sudah pukul delapan lewat. Sudah hampir enam jam berlalu. Sesaat duniaku menjadi kosong. Senyap.

Dia sudah pergi... Seperti ada sebuah bisikan singgah di telingaku. Aku duduk, masih menatap layar telepon, tak tahu mesti melakukan apa. Kubaca kembali dengan lebih perlahan huruf-huruf di layar. Baby sudah pulang... Pulang? Pulang ke mana? Pulang ke rumah? Atau pulang kembali ke atas sana? Tapi kemarin Baby masih di ICU, mungkinkah bisa secepat itu dia pulang ke rumah? Bukankah mestinya dilanjutkan perawatan ke kamar biasa? Seketika itu juga harap yang tadi sempat memunculkan wajahnya padaku, langsung lenyap tak berbekas. Jantungku berdegup kencang ketika akhirnya kubalas sms itu...

Hampir pukul sembilan ketika aku meluncur menuju ke Krematorium Nirwana. Ya, Baby telah pulang. Berpulang tepatnya. Aku menerima sms yang mengabarkan bahwa dia akan dikremasi pagi itu juga. Harapanku untuk melihatnya sekali lagi musnah sudah. Petinya sudah ditutup. Ingat saja saat dia masih lucu ya... Itu sms yang kuterima tadi, membuat aku terbayang kembali pada saat aku mengunjunginya pertama kali di rumah sakit, saat ia menjalani kemoterapi untuk pertama kalinya. Baby masih bisa tertawa, masih bisa bermain denganku, bahkan masih berceloteh riang dengan bahasanya sendiri. Meskipun selang obat dan selang makanan melekat di tubuh dan wajahnya. Dia sangat manis. Sangat cantik. Seperti tidak merasakan penderitaan apapun atas sakitnya.

Semuanya begitu cepat. Terlalu cepat. Baru kemarin rasanya ketika aku dipenuhi sukacita mendengar berita kelahiran Baby. Empat belas September tahun lalu. Lalu detik demi detik berlalu, menjadi menit, jam dan hari. Bulan demi bulan berlalu. Aku masih ingat pertama kali melihatnya tertawa dan mulai belajar mengenal dunia. Tapi belum lagi perkenalan itu berjalan lama, aku telah mendapat kabar tentang dirinya yang sakit. Tapi ia masih tersenyum dan tampak seperti layaknya bayi-bayi lucu lainnya, meskipun menjalani proses pengobatan yang panjang dan berat. Dan tiba-tiba tampak secercah cahaya menyinari ketika mendengar berita bahwa Baby memasuki masa remisi, di mana sel kankernya telah berada di bawah batas normal. Dan harapan kami pun tumbuh dengan lebih cepat. Baby pasti bisa sembuh! Tapi sayang seperti secepat munculnya harapan itu, kini harapan itu telah meredup, layu dan mati...

Ketika Baby menjalani pengobatan lanjutan, ia kembali terserang demam. Dan kali ini tubuhnya sempat membiru, yang kemudian diketahui bahwa paru-parunya meradang. Karena itu Baby terpaksa dimasukkan ke ICU. Dan ketika aku mengunjunginya, ia telah berpindah kamar, ke kamar ICU utama, dengan alasan agar bisa lebih mendapat perhatian perawat. Yang artinya, keadaannya mulai mengkhawatirkan.

Saat aku melihatnya di balik kaca, dari jarak yang cukup jauh, aku hanya bisa memandangi tubuhnya yang tergolek pasrah. Dengan bantuan mesin di kiri dan kanan serta selang-selang yang entah untuk apa. Dia tertidur pulas dalam pengaruh obat bius. Dan begitu juga ketika aku kembali lagi menjenguknya minggu lalu. Padahal ingin sekali aku mendekatinya. Menyentuh tangan mungilnya dan berbisik di telinganya, "Nak, kamu pasti bisa sembuh. Yang kuat ya... Kami semua mencintaimu. Menunggumu kembali..."

Aku khawatir. Tapi aku tak tahu harus berbuat apa. Aku bahkan tidak punya kata-kata penghiburan untuk sahabatku, sang Ibu yang selalu menemani Baby dengan tabahnya. Ya, aku tahu sebenarnya dirinya pun sangat sedih dan khawatir. Namun tak pernah ada ekspresi cemas dan takut di wajahnya. Juga tak pernah terlontar keluh kesahnya. Semuanya hilang dalam diam dan doanya.

Aku tak pernah suka ke tempat pemakaman atau tempat-tempat seperti itu. Begitupun dengan krematorium ini. Suasananya membuatku ingin berlari jauh. Aku tak pernah suka akan perpisahan. Apalagi perpisahan yang terjadi tiba-tiba dan tidak diinginkan. Tapi di sinilah aku, berdiri di pintu, tak berani beranjak masuk. Dan ketika ia muncul, dengan selendang putih di bahunya, aku kembali merasa lumpuh. Selendang itu pernah digunakannya untuk membalut tubuh Baby. Dan senyum Baby kembali muncul di hadapanku, membuat tempat itu menjadi terlihat tak sungguh-sungguh nyata.

Matanya sembab. Pasti ia telah banyak menangis sejak jam dua tadi. Namun tak ada sisa airmata di sana. Mata itu bicara padaku, tentang kepasrahannya. Dan aku hanya bisa merangkulnya, tanpa sepatah kata pun.

Tak ada peti. Hanya ada pintu besi yang telah tertutup rapat. Baby telah masuk ke sana lima belas menit yang lalu. Tak ada ucapan selamat tinggal lagi yang bisa kuucapkan. Aku hanya bisa menunggu dalam diam. Masih merasa semua ini tak nyata. Terlalu cepat. Benar-benar terlalu cepat semuanya ini terjadi...

Semua yang ada di sana menunggu proses kremasi selesai. Dan ketika petugas yang berpakaian biru itu datang dan mengumumkan bahwa pintu sudah bisa dibuka, aku bangkit, mendekat. Pintu terbuka perlahan. Dan sebuah meja yang sepertinya terbuat dari marmer, terdorong keluar dengan perlahan. Tak ada peti. Hanya ada puing-puing di atas meja. Aku mendekat lagi, ingin melihat lebih jelas. Tulang-tulang kecil berserakan di sana, bercampur dengan abu. Aku menoleh padanya. Dia mendekap mulutnya dengan tangan, menahan tangis dan sedihnya.

Bayi itu tak ada lagi. Yang tersisa hanya tulang-tulang putih dan abu. Habis sudah. Hilang selamanya... Seperti itulah adanya kita semua, dari abu kembali menjadi abu. Begitu sederhana. Lalu apa yang selama ini begitu kita sombongkan? Apa yang membuat kita begitu yakin bahwa kita ini berbeda dengan yang lain? Bahwa kita lebih hebat, lebih tinggi dan lebih terhormat dari yang lain? Pada akhirnya kita semua akan kembali menjadi abu. Abu yang sama...

Aku belum menangis. Aku tak bisa menangis. Hatiku berduka, tapi airmataku tak juga mau menetes. Aku kehilangan, tapi apa yang bisa aku lakukan? Masa-masa sulit itu telah dijalaninya dengan berat. Dia telah berjuang dengan kekuatan yang sangat besar meskipun tubuhnya begitu kecil dan lemah. Tapi bila pada akhirnya napasnya terhenti, apakah itu sebuah kekalahan? Tidak. Bagiku dia tetap seorang pemenang yang hebat. Bagiku dia tetap sosok yang sangat-sangat mengagumkan. Sosok yang telah datang dan pergi dengan begitu cepat namun telah menyentuh banyak hati dan sisi hidup. Sosok yang telah mengajarkanku begitu banyak tentang hidup. Hidup ini hanya sebentar. Hidup ini rapuh. Kita hanya seorang manusia yang pada akhirnya juga tak bisa lari dan mengelak dari kematian dan kehendak Yang Di Atas. Juga bahwa, hidup ini sangat berharga. Begitu banyak yang berjuang demi sebuah napas, sementara kita sering menghabiskan detik demi detik dengan penyesalan diri dan semua omong kosong tak berguna...

Belum setahun waktu berlalu. Dia bahkan tak sempat meniup lilin ulang tahun di atas kue tart pertamanya. Tak sempat membuka kado ulang tahunnya yang pertama. Bahkan tak sempat mengenakan sepatu perak cantik yang kubelikan untuknya minggu lalu. Tapi bila memang ini adalah akhir dari perjalanannya yang singkat, biarlah dia pergi dengan damai. Biarlah dia melepaskan semua sakit dan derita yang ada. Dan semoga dia beristirahat dengan tenang di atas sana. Dan tersenyum serta tertawa kembali merangkul bahagianya yang abadi...

Selamat jalan, Baby... We love you...

(*finally my tears going down...)

Photo Link: http://www.google.co.id

1 komentar:

  1. yang penting, perjuangannya udah selesai
    dia udah damai di Surga :)

    BalasHapus

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya