
Beberapa malam yang lalu seorang teman di China City menyanyikan lagu Ronan Keating tersebut. Masih, seperti dulu selalu terdengar sendu di telingaku. Tap kali ini kalimat-kalimat lagu tersebut mengalir lebih perlahan, menyusup ke dalam jiwaku. Bagaimana jika esok tak pernah datang? Menghadirkan resah yang tak mampu kuusir.
Pernahkah terpikir olehmu tentang hal ini? Bila baru sekarang terpikir, ketika kau membaca tulisanku ini, lalu apa jawabanmu? Bagaimana bila esok tak pernah datang?
Semalam aku tak bisa memejamkan mata. Tiba-tiba kalimat itu terus terngiang-ngiang, menuntut sebuah jawaban. Tak mampu bersembunyi lagi, menghindar, atau berkata, nanti saja, aku belum memikirkannya...
Selama ini aku belum pernah memikirkan pertanyaan ini dengan serius, karena kata kematian selalu merupakan kata asing, yang hanya kadang-kadang terdengar namun begitu jauh tak terlihat olehku. Tapi kini aku seakan dipaksa duduk menatap lurus pada kenyataan yang telah mempunyai bentuk yang tak bisa diubah lagi. Kenyataan bahwa seseorang ditakdirkan harus menjawab pertanyaan itu. Dan kini ia mesti mulai menghitung langkah yang tersisa di dunia ini.
Kata esok kini bukan lagi sebuah kata yang pasti. Esok, seakan sebuah mimpi dan janji yang tak pernah berwujud nyata. Begitu dekat terasa, tapi kadang aku tak yakin kita dapat menggapainya. Karena ia tak pernah bisa menjadi milik diri. Ketika ia masih datang menghampiri ada rasa syukur terucap. Namun jika ia benar-benar tak datang lagi, haruskah aku mengutuknya?
Aku tak pernah takut akan kematian. Bagiku hidup dan mati adalah sebuah proses alami. Bila pun kini aku harus melepas hidup, mungkin aku akan menutup mata dengan rela. Namun aku takut ketika mendengar kata kematian bagi orang-orang di sekelilingku. Aku tak pernah bisa melepas rasa khawatir tak dapat menemukan mereka lagi di sampingku. Aku tak pernah berani kehilangan orang-orang yang kucintai. Dunia ini tak akan pernah memberi bahagia yang sama lagi ketika langkahku harus sendiri.
Dan kini, aku merasa terpuruk di sini, memikirkanmu. Maaf, bukan kata-kata penghiburanku selama ini hanya kata-kata kosong belaka. Tidak. Itu setulus hatiku, berharap yang terbaik bagimu. Aku tersenyum, mengirimkan semangat hidup bagimu dalam kata maupun tatapan mataku. Aku bahkan mengajakmu menertawakan kematian. Kita bahkan merencanakan akhir yang indah. Tapi di sini sendiri, aku tak mampu menutup pintu hatiku bagi sedih yang telah lama menyelinap masuk. Ya, sejak aku mendengar kabar tentangmu, hatiku hancur. Malam itu aku menangis tanpa suara. Tangis yang kusimpan lama, tak ingin kau melihatnya. Tidak. Aku harus selalu tegar dan bahagia di matamu, karena aku akan menjadi sumber semangat dan sisa cahayamu.
Aku tak pernah tahu bagaimana rasamu menghadapi semua ini. Terlalu angkuh diriku bila kukatakan aku mengerti. Tidak. Aku tak pernah mengerti berapa besar ketakutan dan bebanmu saat ini. Itu yang membuatku merasa tak berarti dan tak berguna. Bila saja mampu kuangkat sebagian beban itu, biar kita pikul bersama di jalan ini... Andai Tuhan memberi kita kesempatan untuk tawar-menawar, bahkan untuk sebuah kata kematian...
Perbuatan memang tak pernah sebijaksana kata. Meski aku tahu di sana, di ujung kehidupan ini akan kau temukan damai dan bahagia, meski aku tahu kematian adalah pelepasan jiwa dari segala beban, masih saja lara ini tak mau pergi. Aku bahkan berharap langkah kakiku yang pertama sampai pada ujung kehidupan sebelum orang-orang di sekitarku. Ya, ini egois-nya diriku. Yang tak pernah ingin ditinggalkan.
Belakangan ini, kucoba untuk menikmati setiap detik yang aku punya dengan semua orang di sekitarku. Ketika kau tertawa, aku berhenti sejenak, memperhatikan tawa itu. Ingin menangkap dengan jelas semua ekspresi, suara dan rasa hati yang ada. Dan setiap detik itu kucoba menghadirkan syukur di hati. Terima kasih Tuhan untuk saat ini... Tak pernah lagi ingin membiarkan waktu berlalu begitu saja dengan cepat tanpa pernah teramati.
Meski begitu aku tahu, bila esok akhirnya aku harus kehilanganmu, tetap airmataku akan kembali menetes. Dan hatiku akan kembali berduka. Setegar apapun diri ini, sebaik apapun pengertianku akan hidup dan mati, tetap bahagiaku tak akan menjadi sama dengan kosongnya hadirmu di sini. Namun, tak peduli tinggal berapa esok lagi yang tersisa, tak peduli sependek apa jalan di depan sana, aku akan berjalan menemani langkahmu dengan semua semangat yang kupunya. Dan tak akan kubiarkan kau melihat dan merasakan sedihku. Aku akan selalu tersenyum bahagia dan ceria. Sepanjang sisa jalan ini bersamamu, aku berjanji tak akan pernah lagi memikirkan pertanyaan itu, bagaimana bila esok tak pernah tiba? Biarlah, seandainya esok tak akan tiba untukmu atau pun untukku, akan kunikmati hari ini, sisa waktu yang ada ini, dengan seluruh rasa dan bahagia yang masih ada...
Photo Link: http://rullyeist.files.wordpress.com/2009/09/kepergiaan-dan-perpisahan-pic.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar