Senin, 24 Agustus 2009

Cinta Seorang Ayah

Lelaki itu terbaring di sana dengan mata tertutup. Wajahnya yang dipenuhi kerut-kerut seperti tertidur pulas. Tubuhnya tertutup selimut dan selang infus tertancap di lengannya. Suara mesin memperdengarkan detak jantungnya yang teratur.

Ketika Rey menemukannya di sana, dua hari yang lalu. Hatinya hancur berkeping-keping. Penyesalan menyergapnya. Harusnya dia bisa datang lebih cepat. Harusnya dia membatalkan perjalanannya yang terakhir itu. Sesi pemotretan di sebuah pegununungan nun jauh dari tempat ayahnya berada. Sam, lelaki muda berusia tiga puluhan yang selalu setia menemani ayahnya itu mengatakan telah berusaha menghubungi Rey selama hampir seminggu. Dan pesan itu baru diterima Rey tiga hari yang lalu, ketika dia kembali ke hotel tempatnya menginap. Bergegas, ia terbang pulang dan langsung menuju ICU tempat lelaki yang telah dipanggilnya Ayah sejak dua puluh lima tahun yang lalu itu berada. Tapi lelaki itu telah masuk dalam tidur panjangnya, entah kapan akan bangun dari komanya.

Sudah dua hari Rey berada di sana, menunggui ayahnya. Berharap cemas ayahnya akan membuka mata. Ia ingin berbicara padanya, ia ingin menyampaikan kata hatinya. Ia merasa selama ini telah melakukan banyak keegoisan. Dan ia berharap masih punya kesempatan untuk menyatakan sesal dan memperbaiki semuanya.

Hari itu, pukul dua dini hari ketika Rey terlelap dalam tidurnya, dengan kepala terkulai letih di sisi pembaringan ayahnya, lelaki tua itu membuka matanya. Kembali dari tidur panjangnya. Butuh waktu beberapa saat baginya untuk menyadari di mana dirinya kini berada. Dan ketika ia melihat anaknya tertidur di sisinya, senyum bahagianya terkembang perlahan.

Rey terbangun ketika merasakan sebuah belaian lemah di kepalanya. Dan ia terbelalak tak percaya melihat ayahnya tengah menatapnya. Tubuhnya gemetar, dipenuhi rasa bahagia. Air matanya jatuh tanpa disadarinya.

" Ayah, maaf. Aku tak tahu kondisi Ayah seperti ini. Aku selama ini terlalu sibuk dengan duniaku sendiri."

Lelaki tua itu masih tersenyum.

" Yah, aku sudah putuskan untuk kembali ke sini. Ayah jangan khawatir, aku akan urus perusahaan yang telah susah payah Ayah bangun. Aku tak akan biarkan kebanggaan Ayah hilang begitu saja."

Lelaki itu berusaha mencari tangan anaknya dan ketika ia menemukannya ia meremasnya erat, seakan ingin menyampaikan rasa cintanya.

" Ayah hanya ingin bertemu denganmu."

Rey mengangguk-angguk. Tak dapat menahan sedihnya lagi, airmatanya tak juga berhenti mengalir. Ia bukan seseorang yang melankolis atau emosional, tapi entah mengapa saat itu ia seakan-akan merasakan sesuatu yang berbeda. Seakan-akan ada yang berbisik di telinganya mengenai sebuah perpisahan.

" Ayah tidak khawatir soal perusahaan. Ayah sudah mengatur semuanya. Sam akan mengurus semua dan akan melaporkannya padamu, Nak. Dia dapat dipercaya."

Rey menggeleng. "Tidak, Yah. Aku akan tinggal di sini mengurus perusahaan Ayah. Dulu aku egois, demi cita-cita sendiri aku pergi meninggalkan Ayah dan sibuk dengan duniaku ini. Aku seharusnya membantu Ayah di sini, menjalankan perusahaan yang telah susah payah Ayah bangun. Aku sudah mengecewakan Ayah."

" Tidak, Nak. Ayah tidak ingin kau kembali. Pergilah, kejar apa yang kau impikan."

Rey tercekat, menatap mata ayahnya yang lembut itu. " Tapi, perusahaan Ayah? Aku akan menjaga dan mengurusinya. Aku harus bisa membuatnya berkembang dan terus berdiri kokoh. Karena aku tahu itu adalah kebanggaan Ayah."

" Jiwa bila sudah terlepas dari tubuh tak lagi punya rasa dan keinginan."

Kata-kata ayahnya yang pelan namun mengandung makna yang dalam itu membuat Rey terdiam. Ia berusaha mencernanya.

" Rey, melihatmu bahagia adalah keinginan terbesar Ayah selama ini. Ayah tak pernah kecewa padamu, Nak. Ayah selalu merestui jalan yang kau pilih, karena kau selalu berhak untuk menentukan hidupmu sendiri. Dan adalah sebuah kebahagiaan bagi Ayah mengetahui bahwa tanggung jawab sebagai orangtua telah dapat Ayah penuhi dengan baik."

" Tapi, Yah..."

Lelaki itu mengangkat tangannya dengan gerakan lemah. Sejenak ia memejamkan matanya dan menarik napasnya perlahan-lahan. Bukan lagi pekerjaan mudah baginya untuk menarik napas layaknya manusia normal. Rey menatapnya dalam khawatir.

" Rey panggilkan Dokter, Yah?"

Ayahnya kembali membuka mata dan menggeleng pelan.

" Ayah hanya ingin berpesan padamu, hiduplah selama kau masih hidup."

Dan setelah mengucapkan kalimat itu, lelaki itu menghembuskan napasnya yang terakhir dan meninggalkan Rey selamanya.

Ayahnya adalah seorang pengusaha handal yang memiliki perusahaan ternama di kota itu. Hal itu telah diketahui Rey dari ia masih kecil. Rey sering dibawa ayahnya ke kantor dan melihat begitu banyak orang yang bekerja di sana untuk ayahnya. Orang-orang silih berganti menemui ayahnya untuk sebuah urusan. Rey tak mengerti. Dan ia tak pernah berniat untuk tahu.

Ketika Rey berumur dua belas tahun, ibunya meninggalkan mereka selama-lamanya, direnggut oleh kanker rahim. Semenjak itu, ayahnya menjadi satu-satunya orang yang menjaganya. Meski sibuk, ayahnya selalu meluangkan waktunya bagi Rey. Rey tak pernah merasa kekurangan materi maupun kasih sayang.

Dan ketika menginjak dewasa, Rey menyatakan keinginannya untuk menekuni dunia photography, ayahnya mengiyakan keinginannya itu. Dan sejak itulah, Rey terbang ke luar negeri, mencari ilmu di negeri orang, jauh dari ayahnya. Karena begitu larut dalam dunianya sendiri, Rey bahkan tidak memperhatikan kondisi ayahnya yang semakin hari semakin menurun.

Dan kini lelaki itu telah pergi selama-lamanya.

Ketika para tim medis telah memindahkan jenazah ayahnya, Sam datang untuk membantu membereskan barang-barang. Lelaki itu kemudian menyodorkan sebuah kotak yang ditemukannya di laci pada Rey.

Dalam kotak itu Rey menemukan selembar foto dirinya yang masih kecil bersama Ayah dan ibunya. Dan sebuah album foto. Rey membuka album itu, melihat isinya dan terhenyak tak mampu berkata. Itu adalah album foto-foto hasil pemotretan Rey yang pertama. Masih tersimpan dengan baik. Dan di sampul belakang album itu tertulis: Photos by My Lovely Son. Itu tulisan tangan ayahnya. Tulisan itu menyiratkan sebuah kebanggaan yang disimpan ayahnya. Rey menangis, terharu akan penghargaan dan cinta ayahnya yang begitu besar padanya. Sebuah ungkapan cinta terbesar yang bisa diberikan oleh seorang Ayah untuk anaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya