Selasa, 11 Agustus 2009

Hening, Kosong atau Damai?

Kucoba mengetikkan beberapa kata, merangkainya jadi kalimat... Jemariku terhenti. Ayo, lanjutkan! teriakku pada jemariku. Mereka tetap tak bergerak. Ada yang salah? Aku beralih ke pikiranku, mencoba masuk ke sana. Aneh. Tak ada yang terdengar di sana. Hening. Benar-benar aneh. Bukankah pikiran selalu menjadi tempat tersibuk, mengalahkan sibuknya lalu lintas ibukota? Lalu ke mana semua suara bising yang tumpang tindih yang selalu tak mau diam, bahkan sering mengganggu ketika aku berusaha meninggalkan alam nyata dan lari ke alam tidur?

Kutajamkan telinga jiwaku. Harusnya ada suara yang kulewatkan. Satu, dua, tiga detik berlalu... Tetap hening. Oh, shit! Ayo bangun! teriakku, sekarang pada pikiranku. Bangun dan bicaralah! Sekarang aku sedang ingin mendengarkanmu. Apa saja. Bahkan hal terkonyol dan tak menarik sekalipun. Karena aku lagi ingin menuliskan apa saja.

Tak ada balasan. Hhhhh....

Tunggu! Kalau pikiran mogok dan bertingkah harusnya ada sesuatu yang bisa kudapatkan dari hati. Biasanya dia menghadirkan rasa yang kuat dan dalam, yang memanggil seluruh inspirasi datang berkunjung. Aku tinggalkan pikiran dan mendekati hati. Kusentuh dia. Tak ada rasa yang tercipta. Aku coba berkonsentrasi. Dingin? Panas? Atau apa??? Tak ada rasa, hambar. Aneh. Biasanya setelah pikiran, dia yang menguasai diriku. Mempengaruhi seluruh jaringan sel tubuhku dengan rasa yang diciptakannya. Panasnya menghadirkan rasa tak tenang, gelisah dan amarah. Dinginnya membekukan diriku, menghadirkan rasa tak peduli, dinding tebal sebagai benteng terhadap dunia luar. Tapi aku paling suka hangatnya. Rasa yang menghadirkan cinta, keindahan dan kadang setetes kepedihan. Membuat jemariku bergerak lincah dan merangkai kata indah dengan mudah.

Tapi hari ini, hatiku pun bagai batu tak bernyawa. Diam tak bergerak, tak berasa. Apa yang terjadi? Hey, apakah mereka tengah berkomplot mengerjaiku? Ataukah terjadi sesuatu yang tak kusadari dengan diriku ini. Tidak. Aku harus bisa membuat mereka bicara.

Untuk memancing rasa hatiku harusnya bisa dengan mengorek kenangan lama melalui pikiranku. Kali ini aku berbalik kembali padanya dengan senyum kemenangan. Kali ini, kau harus membantuku!

Oke, kenangan yang mana? Aku ingat-ingat dulu... Kupilih satu dari tahun-tahun yang lalu, dan kuputar bak film di dalam ingatanku. Kuteliti wajah-wajah di dalamnya baik-baik. Kudengarkan suara-suara mereka, terutama nada yang ada. Nada tinggi, wajah tegang... Ayo! Marah! Kutunggu... Satu, dua, tiga... Aku menengok ke arah hatiku. Tak ada yang terjadi. Hening.

Jangan menyerah! Ayo lanjutkan kenangan itu, pasti belum sampai titik klimaks-nya. Aku berbalik lagi pada pikiranku. Aku tertegun ketika sampai di sana. Kosong. Bahkan sepotong film kenangan yang tadi kupaksa terputar tak ada lagi di sana. Hey, film-nya belum selesai! teriakku. Tapi tetap tidak ada jawaban. Seandainya ini di gedung cinema, aku sudah protes minta uang tiket dikembalikan!

Jadi di sinilah aku dengan pikiran dan hatiku sedang selaras tak mau berbicara dan memberikan rasa padaku. Aneh, sepi sekali. Padahal biasanya saat mereka tak habis-habisnya merecokiku, aku selalu berharap mereka mau diam. Bahkan sampai aku mengemis-ngemis, mereka masih saja berlomba-lomba menggangguku. Sekarang ganti aku yang panik dan bingung dengan diam mereka.

Di mana-mana kosong. Tak ada suara, tak ada rasa. Atau inikah yang selama ini kuimpi-impikan, damai itu? Titik di mana tak ada yang diributkan, tak ada yang terlalu penting untuk singgah dan dipikirkan? Tapi hening ini, kosong atau damai? Tak tahu. biasanya pikiranku sok tahu mulai menjelaskan. Tapi kali ini dia tetap membisu. Whatever-lah... Mungkin aku seharusnya ikut duduk diam, menutup mata dan menghentikan jemariku. Membiarkan diri masuk dalam keheningan ini.

1 komentar:

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya