Selasa, 09 Februari 2010

Nak, Boleh Ibu Peluk Sebentar?


Kadang Tyas tak mengerti harus bagaimana menghadapi sang Ibu. Ibunya, wanita yang kini sudah mendekati kepala enam itu, bukanlah seorang wanita yang mudah dihadapi dan dimengerti. Semenjak mulai remaja, Tyas mulai melihat sosok ibunya sebagai sosok yang berbeda dengan sosok ibu yang selama ini ada di dalam angan-angannya. Terkadang Tyas berpikir apakah sikap ibunya diakibatkan oleh kemiskinan dan penderitaan yang harus dilalui mereka selama ini? Mungkin. Hanya saja, kini keadaan ekonomi mereka sudah sangat jauh membaik, namun sikap ibunya bukan semakin membaik melainkan semakin memusingkan kepala Tyas.

Ibunya adalah seorang wanita keras yang hampir setiap waktu berpikiran negatif. Sering kali Tyas mencoba mengajaknya berbicara dari hati ke hati, mencoba memasukkan pikiran-pikiran positif pada ibunya. Tyas pun mengajak ibunya beibadah setiap minggu, berharap mungkin dengan begitu mata hati ibunya dapat terbuka. Ada yang mengatakan tabiat seseorang susah diubah apalagi bila seseorang itu sudah mulai berumur. Mungkin itu benar, karena meski telah berusaha berkali-kali, Tyas tetap merasa gagal mengubah sikap ibunya.

Tyas sering merasa sedih melihat ibunya yang hingga kini tak pernah terlihat bahagia. Ada saja yang dikeluhkan ibu dari hari ke hari. Semua tak bisa memuaskan hatinya. Padahal Tyas sering mengingatkan ibunya bahwa sebenarnya di usianya yang telah senja ini, ibunya semestinya menikmati hidup dengan tenang tanpa banyak beban pikiran lagi. Lagipula semua anak-anak telah dewasa dan menemukan jalan masing-masing. Bahkan telah lahir cucu-cucu yang lucu yang harusnya bisa menjadi sumber kebahagiaan wanita itu.

Keadaan dalam keluarga mereka tak pernah menjadi benar-benar damai. Anak-anak yang kini juga rata-rata telah menjadi orangtua mulai protes pada sikap ibu yang tak pernah mau berubah. Ibu yang selalu memikirkan diri sendiri. Ibu yang selalu mengeluh tentang apa saja, yang membuat anak-anaknya merasa enggan berada di dekatnya. Ibu yang menyimpan begitu banyak dendam masa lalu dan menjadikannya seorang wanita yang tak bahagia. Ibu yang sering ngambek untuk hal-hal kecil yang seharusnya bisa disikapinya dengan bijak.

Tyas pun sering merasa pusing menghadapi keluhan adik-adiknya tentang ibu. Keluhan yang sama dari waktu ke waktu tak pernah berubah. Bahkan belakangan ini adik-adiknya mulai mengambil jarak dan mulai menyerah, tak lagi punya keyakinan bahwa suatu hari Ibu mereka dapat disadarkan. Tyas pun sering merasa berdosa ketika ada pertanyaan terselip di pikirannya, "Benarkah ini Ibu yang melahirkan dan membesarkanku? Bukankah seorang Ibu harusnya lemah lembut dan punya cinta untuk anak-anaknya?"

Masalahnya ibu tak pernah bersimpati atas kehidupan mereka, anak-anaknya. Membuat mereka merasa begitu jauh dengan wanita itu. Jangankan berpelukan, untuk memegang dan menyentuh tangan ibu saja mereka merasa sungkan. Ada dinding yang tidak kelihatan. Dinding yang terbentuk dari rasa kecewa dan perasaan tidak dicintai orangtua sendiri. Tyas sering berharap seandainya ibu mau membuka hati dan membiarkan mereka, anak-anaknya masuk. Anak-anak yang adalah darah dan dagingnya yang berasal dari dirinya sendiri.

Hari ini seperti yang sudah-sudah terjadi, Tyas menyempatkan diri bercakap-cakap dengan ibunya. Seperti biasa dalam percakapan mereka, Tyas selalu mencari kesempatan untuk mengingatkan ibunya untuk mengubah sikapnya yang negatif. Meski sebenarnya Tyas juga mulai merasa lelah, merasa melakukan pekerjaan yang sia-sia. Namun entah mengapa hatinya masih tidak mau menyerah juga pada wanita itu.

Bukan maksud Tyas untuk selalu menasehati orangtuanya sendiri. Ia pun tahu harusnya posisi mengingatkan itu datang dari ibunya. Bukan dirinya sebagai anak. Namun Tyas tak pernah merasa ibunya pernah berusaha menjadi contoh yang baik untuknya. Ibunya terlalu sibuk dengan pikiran dan dunianya sendiri. Dunia sempit yang tak pernah membuatnya tersenyum, meski sehari saja.

Tapi hari ini, entah mengapa ibunya tidak membalas perkataan-perkataan Tyas seperti yang biasa dilakukannya. Wanita itu hanya diam. Tak ada wajah tak suka di sana. Tak ada pembelaan diri seperti biasa. Bahkan tak ada kemarahan yang meledak seperti yang sudah-sudah terjadi.

Saat Tyas mengakhiri perkataannya, tiba-tiba sang Ibu mengangkat wajah, menatap Tyas lama. Ia kemudian bertanya, "Nak, boleh ibu peluk sebentar?"

Tyas terpaku, bingung bercampur tak percaya. Ibunya? Memeluknya? Itu adalah sesuatu yang tak pernah berani diimpikannya selama ini. Namun tak sadar kepalanya terangguk pelan. Dan wanita itu memeluknya. Lama.

Tyas merasa seakan waktu berhenti saat itu juga. Seakan dunia ini membeku dalam sebuah momen yang selamanya tak akan pernah bisa dilupakannya. Airmatanya menetes. Kerinduannya akan kasih ibunya setelah berpuluh tahun berlalu kini terbayar sudah. Segala rasa frustasi, kecewa dan sedih kini seakan-akan mendapat sebuah jawaban pasti. Ya, ini wanita yang telah melahirkannya. Wanita ini bukan sebuah batu tak berhati. Wanita ini, punya perasaan. Hanya saja selama ini ia bagai telah membeku, tak terjamah, tak tersentuh. Dan kini, mungkin karena Tuhan menjawab doanya, wanita itu tiba-tiba membuka hatinya dan membiarkan Tyas masuk...

Tiba-tiba semua keraguan Tyas bahwa mungkinkah ibunya juga memiliki hati yang baik sirna seketika. Ya, Tyas yakin ibunya memiliki hati yang baik. Di dalam sana, ada hati yang baik yang selama ini bersembunyi. Entah karena apa, entah mengapa, selama ini hati itu tak pernah terlihat.

Ibu Tyas melepaskan pelukannya dan tersenyum. Itu senyuman yang terindah yang pernah Tyas lihat sepanjang hidupnya.

"Sudah lama Ibu ingin memeluk kalian," kata ibunya pelan, dengan mata berkaca-kaca sarat akan kerinduan.

Tyas tak dapat menahan airmatanya kembali. Ya, Tuhan... Ternyata selama ini, wanita yang mereka rasakan tak berhati itu juga memendam kerinduan akan cinta. Segala kejadian buruk dan kesalahpahaman di antara mereka selama ini yang membutakan mata mereka akan kerinduan itu. Kerinduan yang tak terucapkan selama ini. Kerinduan yang telah dibungkus oleh ego masing-masing. Dan kini seakan telah memasrahkan dirinya pada kekuatan cinta, wanita itu melepaskan seluruh topeng hidupnya dan membiarkan jiwanya yang telanjang di hadapan sang anak. Mengakui dengan segala kerendahan hatinya sebagai seorang ibu bahwa dia telah lama merindukan anak-anaknya berada kembali dalam pelukannya...

Photo Link: http://images.google.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya