Minggu, 21 Maret 2010

Diriku Yang Patah...


Bila diibaratkan aku ini sebuah taman, dulu aku adalah sebuah taman kecil, sederhana, polos dan tanpa warna. Lalu pada suatu masa, kau, manusia, datang melihat diriku yang tak merasa indah ini. Namun di matamu, kau mampu melihat keindahan diriku yang memikatmu untuk tinggal. Kau merasakan butiran tanahku di jemarimu, kau hirup udara tamanku dengan wajah berseri. Lalu kau tabur benih-benih di sini, tepat di jantung jiwaku. Setiap hari kau datang, kau siram tamanku dengan penuh cinta dan kesabaran. Lalu perlahan seiring waktu berjalan, tunas-tunas baru bermunculan.

Berapa lama waktu yang telah kau habiskan di sini, dengan diriku? Berapa banyak kesabaran dan harapan yang telah kau tuang pada waktu? Aku tak ingat lagi. Aku lupa menghitung waktu. Karena dengan kehadiranmu di sini, aku terbuai, lupa akan waktu. Karena aku mengira dirimu akan selamanya berada di sini, melihat ke arahku, menabur, menyiram dan selamanya terpikat akan indah diriku. Ya, kau telah membuatku merasa indah dengan cintamu. Kau yang telah menghembuskan napas hidupku.

Taman yang kau cintai ini kemudian berubah menjadi taman yang penuh warna. Bunga-bunga bermacam warna dan bentuk, bermekaran dengan cepat dan riang. Wanginya memenuhi udara, berharap selamanya akan jadi candu dirimu. Agar tak pernah kau berpaling pada taman yang lain.

Tapi kemudian, ada yang berubah. Kau bilang esok tak lagi akan kembali padaku. Kau bilang taman ini tak lagi membuatmu nyaman dan kau tak ingin tinggal lebih lama lagi. Kau bilang cukup sudah waktu yang kau habiskan untuk menyiraminya. Kau bilang, kau tak lagi punya sisa benih baru untuk kau tabur.

Tunggu... Apa yang terjadi? Apa salahku? Apa warna bunga-bungaku tak seindah yang kau harapkan? Apa wangi bunga-bungaku kini telah tercium hambar? Apa indah diriku tak lagi cantik di matamu? Apa yang tak kau sukai? Ubahlah. Aku membebaskan dirimu mengubah apa saja yang tak kau sukai dari taman ini, sesuai dengan keinginanmu. Asalkan kau bahagia. Asalkan kau tak meninggalkanku. Asalkan kau tetap mencintaiku.

Kau menggeleng. Tak ingin berkata lagi. Dan dengan teganya, kau membalikkan tubuhmu, melangkah pergi, meninggalkanku begitu saja.

Tak ada lagi yang menyirami bunga-bunga indahku. Mereka ikut sedih, perlahan menjadi layu dan mengering. Tak ada lagi yang menaburkan benih baru, menggantikan yang telah mengering. Bahkan tanah di sinipun mulai ikut mengeras dan kering. Tak ada lagi keindahan yang tersisa. Tak ada lagi wangi semerbak di udara. Hanya ada taman sederhana yang tampak kusam dan menyedihkan. Mulai mati. Mati tanpa napas kehidupan yang telah ikut kau bawa pergi.

Aku menangis. Bahkan airmataku tak mampu menghidupkan kembali taman ini. Karena airmataku mengandung sakit, kecewa dan sedihku. Bukan lagi air yang mengandung cinta, yang dulu kau tuangkan. Ya, taman ini telah mati. Mati karena tak dicintai lagi.

Aku mencintaimu karena telah menghembuskan napas kehidupan untukku, dulu.
Aku membencimu karena telah mengambil kembali napas kehidupanku, kini.
Haruskah aku tetap mencintaimu kini?
Salahkah bila akhirnya aku membencimu kini?

Biarkan aku sendiri, dengan semua kekosongan dan kesuraman ini. Biarkan aku tutup pintu taman ini rapat-rapat. Terlalu banyak luka dan sampah yang berserakan di sini. Biarkan saja... Biarkan aku meratapi cinta yang telah hilang ini. Sampai habis airmataku. Sampai perihku tak lagi terasa perih. Sampai semua sampah telah kembali tertelan dan menyatu kembali ke bumi. Sampai semua luka sembuh seiring waktu.

Hanya ada satu harapku. Semoga suatu hari nanti, ada yang kembali mengetuk pintu tamanku ini. Manusia baru, manusia lain, dan bukan dirimu lagi. Dan semoga ketika waktu itu tiba, aku telah siap membuka kembali pintu tamanku, dengan keberanian baru, yang kini belum juga aku miliki....

Photo Link: http://images.google.co.id/imglanding?q=withered garden photo&imgurl

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya