Sabtu, 15 September 2012

Tanpa Cahaya...

Rasa...

Kembali lagi tentang rasa. Entah bagaimana harus mengontrol rasa ini. Seandainya aku mengerti, mungkin tidak akan sesulit ini melaluinya. Tapi aku sendiri tak paham, bahkan aku mulai putus asa. Mungkin selamanya aku tak akan pernah paham...

Kadang aku takut pada diriku sendiri. Diriku yang seperti saat ini. Ketika dia tak mau patuh dan bahagia. Ketika dia menjadi keras kepala dan hanya menuruti rasa itu. Meskipun hampir sepanjang waktu dia mau menjadi anak manis dan mendengarkanku memintanya untuk selalu punya harapan di setiap detik hidup. Tapi tidak di detik ini. Tidak di masa ini. Dia menutup telinganya rapat-rapat. Dan aku tak dapat berbuat apa-apa, selain mengikutinya menerima rasa itu. Rasa tidak dicintai siapapun...

Aku selalu ingin menjadi cahaya. Bila mampu seterang mentari. Bila pun tidak, setidaknya aku bisa menjadi lilin. Tapi bila sumbuku telah terbakar habis, dan tubuhku telah meleleh tak bersisa, bagaimana aku dapat tetap bercahaya? Di mana akan kuambil cahaya baru? Bukankah lilin pun tak abadi? Tapi begitu sulit untuk bisa menjadi mentari. Hhhh....

Selalu kucoba untuk meniupkan harapan di setiap kataku. Mengekspresikan kegembiraan di gerak dan langkahku. Mencintai hidup. Mencoba mengerti segalanya. Mencoba belajar memahami segalanya. Melihat semuanya dari sudut berbeda. Tersenyum pada siapa dan apa saja. Mencoba melihat wajah Tuhan di mana pun...

Tapi sungguh hari ini aku tak mampu. Maafkan aku Tuhan... Bukan aku tak berusaha, bukan aku tak bersyukur. Aku benar tak mampu. Aku tak mengerti. Mengapa hidup seperti ini?

Cahayaku padam. Hanya ada gelap gulita. Hanya ada sunyi dan kekosongan. Dan di sini aku sendiri, merasa sendirian. Hanya ada gaung isakku. Hanya ada dingin airmataku. Akankah ada yang datang membawakan cahaya untuk menolong?

Tuhan, tolong...

1 komentar:

  1. Selamat pagi, Mba...
    Saya Siti Nur Banin, saya sudah coba googling cari email Mba tapi gak nemu, jadi saya cuma mau ijin, saya sedang belajar membuat skenario, dan jika waktunya masih keburu hendak saya ikutkan lomba, nah bagaimana jika saya ingin mengangkat kisah yang Mba buat yaitu "Mencari Wajah Ibu" tentunya dengan menyebutkan bahwa skenarion itu adaptasi dari karya Anda. Bagaimana Mba? saya suka sekali dengan cerpen "Mencari Wajah Ibu" :)

    BalasHapus

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya