Sabtu, 30 Mei 2009

Sunny

Seperti arti dari kata itu sendiri, aku berikan nama ini untukmu. Sunny. Dengan harapan agar kau selalu bercahaya. Cahaya yang menerangimu di manapun kau berada kini. Karena aku khawatir, bila tempat di mana kau berada kini gelap gulita akan membuatmu takut. Semoga kau memiliki cahaya untuk menghangatkanmu, menerangi jalanmu, segelap apapun jalan yang kau lewati itu. Sebenarnya, aku pun berharap cahayamu itu mampu menerangi langkahku kini. Menerangi hati dan pikiranku yang terkadang begitu kelam, sekelam cerita yang kita miliki dulu.

Aku tak pernah yakin, apakah kau pernah sudi memberiku maafmu sejak hari itu, ketika aku meninggalkanmu sendiri. Aku masih ingat malam itu, ketika aku bahkan tidak ingin bertanya pada hatiku sendiri apakah keputusan yang telah kuambil itu adalah keputusan terbaik. Aku yakin saat itu, kau berteriak padaku, menjerit marah dan kemudian berakhir dengan memohon. Permohonan yang sarat dengan keputusasaan. Begitu pilu. Namun aku menutup semua hati dan telingaku, membutakan semua nuraniku. Malam itu, malam Natal, tujuh tahun yang lalu. Malam di mana seharusnya aku bersuka cita menyambut kelahiran Sang Kudus. Ironisnya malah menjadi malam di mana aku mengucapkan selamat berpisah padamu.

Sering kubayangkan, seperti apa wajahmu sekarang bila aku tak meninggalkanmu dulu? Seindah apa suaramu kini? Bahkan aku sering membayangkan betapa merdunya terdengar bila saja aku memiliki kesempatan mendengar kau memanggil namaku. Aku membayangkan kau menggenggam tanganku dan kita berjalan bersama menyongsong hari esok. Dan pelukan hangatmu ketika aku membutuhkan kasih kala kesedihan mencoba menghancurkanku...

Sunny,
Apa kabarmu?
Kabarku baik-baik saja...

Lantunan lagu dari Bunga Cipta Lestari, membuatku tersentak. Mengapa bisa tercipta lagu yang begitu mirip dengan cerita kita? Bahkan namamu pun disebutkan di sana? Apakah lagu ini memang khusus tercipta buatmu? Berasal dari bisikan hatiku yang merana? Yang kemudian entah bagaimana caranya dibisikan angin dan waktu ke dalam hati orang yang menciptakan lagu itu melalui cara tak mampu kita pikirkan? Kedengarannya begitu mustahil. Aku bahkan tak mengenal mereka. Entahlah... Mungkin ini hanya sebuah kebetulan semata. Namun aku tetap sangat berterima kasih pada mereka. Pada lagu yang begitu indah, untuk mengenangmu.

Tiap kali aku mengenangmu, ada rasa sakit yang begitu dalam. Mengiris hatiku, membuatku kehilangan seluruh kebahagiaan yang ada. Rasa sakit dari penyesalan dan ketidakberdayaanku untuk tetap bersamamu. Seandainya waktu itu aku tak meninggalkanmu di sana, seperti apakah hidupku sekarang ini? Sebahagia ini? Ataukah lebih bahagia dari ini? Ataukah lebih buruk dari ini? Aku tak tahu. Aku tak akan pernah tahu lagi. Karena kau tak mungkin kembali lagi padaku. Meski kini aku berlutut dan memohon, seperti yang dulu kau lakukan. Bahkan langit pun tak akan mengabulkan permohonanku itu.

Kalau kukatakan kau adalah cinta terindahku, percayakah kau? Cinta yang lahir dari kedalaman hati yang terdalam, yang tak mampu kuceritakan dengan kata-kata terindah sekalipun. Cinta yang tak mampu kubawa dengan segala keterbatasanku ini. Aku benci diriku sendiri. Benci akan ketidakmampuanku ini. Kadang rasanya aku ingin menyalahkan Tuhan. Mengapa Dia tak membantuku, memberiku lebih banyak kesempatan dan kekuatan? Mengubah semua ketidakmungkinan menjadi kesempatan yang penuh harapan? Tapi sebenarnya di lubuk hatiku yang terdalam tahu, bukan Tuhan yang harus aku kambing hitamkan. Keegoisanku lah yang berbicara ketika aku menyalahkan-Nya. Karena di atas semuanya, keinginanku tak akan menjadi benar, selama-lamanya...

Aku takut. Takut bila luka yang kutorehkan akan selalu berbekas di hatimu. Penolakanku. Ketidakpedulianku. Semua ini seakan-akan bukti kebencianku padamu. Bagaimana rasanya? Pasti sakit sekali. Aku pernah merasakan bagaimana sakitnya tidak diinginkan. Dan terkutuklah aku ini bisa membuatmu merasa seperti itu. Aku takut kau tak akan mampu melupakan malam itu. Malam perpisahan kita. Aku takut bila sampai detik ini sedihmu masih menemanimu. Aku takut kau patah hati dan menyesali diri tak berharga di mataku.

Sunny, maafkan aku...
Kalau saja aku bisa memutar waktu kembali, malam itu tak akan pernah ada. Aku akan memelukmu erat dan menemanimu hingga akhir hayatku. Akan kulawan semua ketidakmampuanku untuk memilikimu. Meskipun aku akan dimusuhi seisi dunia sekalipun. Aku akan memperjuangkan cinta kita. Tidak ada yang akan dapat memisahkan kita. Demi dirimu, akan kulakukan apa saja.

Namun, percuma untuk mengatakan semuanya sekarang, bukan? Seperti sekumpulan kata-kata gombal yang sudah begitu terlambat untuk diucapkan. Terlambat. Yah, penyesalan selalu datang terlambat. Mengapa dia tak pernah lebih cepat menyelinap masuk sebelum semua pintu tertutup rapat? Mengapa kini dia baru mengetuk begitu keras? Ketukan yang sama yang selalu membuatku tak bisa merasakan kedamaian lagi.

Aku hanya bisa memanjatkan doa untukmu. Doa yang kukirim dari hati terdalam. Semoga, di manapun kini kau berada, kau memiliki cahaya untuk menerangi hidupmu. Dan aku pinta pada Tuhan untuk selalu menyelimutimu dengan cinta yang tak pernah bisa aku berikan. Aku pinta pada para malaikat untuk selalu menghiburmu dengan dawai surgawi mereka, membisikkan nyanyian pengharapan di telingamu setiap kali kau berputus asa. Semoga, doaku didengar. Semoga doaku bisa membuat keadaanmu lebih baik. Dan semoga doaku ini, bisa menghibur jiwaku yang merana.

Sunny, maafkan aku...

Tiap kali aku berlutut
Aku berdoa
Suatu saat kau bisa cinta padaku
Tiap kali aku menangis
Di dalam hati
Mana Sunny mana Sunny-ku
Sunny-ku...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

B'day Gift From My Buddy

Conversation With God (Book I Page 59-60)

Apakah rasa takut adalah yg kamu butuhkan utk menjadi, melakukan dan memiliki apa yg pd hakikatnya benar? Haruskah kamu diancam utk "menjadi baik?" Siapa yg berkuasa ttg itu? Siapa yg menentukan pedomannya? Siapa yg membuat aturannya?
Kukatakan hal ini kpdmu: Kamu adalah pembuat aturanmu sendiri. Kamu menentukan pedomannya. Dan kamu memutuskan seberapa baik telah kamu lakukan; seberapa baik sedang kamu lakukan. Karena kamu lah yg memutuskan Siapa & Apa Dirimu Sebenarnya-dan Diri Yg Kamu Cita-citakan. Dan kamu lah satu-satunya yg dapat menilai seberapa baik sedang kamu lakukan.
Tak ada org lain yg akan menghakimimu selamanya, karena mengapa, dan bagaimana Tuhan dapat menghakimi ciptaanNya sendiri dan menyebutnya buruk? Seandainya Aku ingin kamu menjadi dan melakukan segala sesuatu dengan sempurna, Aku pasti telah meninggalkanmu dalam keadaan benar-benar sempurna dari mana kamu datang. Seluruh maksud proses ini adalah agar kamu menemukan dirimu sendiri, menciptakan Dirimu, sebagaimana kamu sebenarnya - dan sebagaimana kamu inginkan sebenarnya. Namun, kamu tak dapat menjadi itu kalau kamu juga tidak memiliki pilihan untuk menjadi sesuatu yg lain.
Karena itu, apakah Aku seharusnya menghukummu karena membuat pilihan yang Aku sendiri telah letakkan di depanmu? Seandainya Aku tak menginginkanmu membuat pilihan kedua, mengapa Aku menciptakan pilihan yg lain daripada yg pertama?
Ini adalah pertanyaan yg harus kamu tanyakan kepada dirimu sendiri sebelum kamu memberi Aku peran sebagai Tuhan yg menghukum.
Jawaban langsung dr pertanyaanmu adalah ya, kamu boleh bertindak semaumu tanpa takut akan pembalasan. Namun, adalah berguna bagimu untuk menyadari konsekuensinya.
Konsekuensi adalah hasil. Akibat alamiah. Ini benar-benar tidak sama dengan pembalasan, atau hukuman. Akibat, sederhana saja. Akibat adalah apa yg berasal dari penerapan alamiah dari hukum alam. Akibat adalah apa yg terjadi, dengan dapat sungguh diprediksi, sebagai konsekuensi dari apa yg telah terjadi.
Semua kehidupan fisik berfungsi menurut hukum alam. Sekali kamu mengingat hukum ini, dan menerapkannya, kamu telah menguasai kehidupan pd tingkat fisik.
Apa yg tampak seperti hukuman bagimu - atau apa yg kamu sebut kejahatan, atau nasib buruk - tak lebih daripada hukum alam yg menyatakan dirinya